SangSaka ,11 Des 2000
Semua Karena BPPN
Senin, 07 Januari 2008
Benar atau tidak, ternyata imbas badai krisis moneter yang belum berakhir hingga sekarang ini telah dijadikan alasan oleh para pengusaha kelapa sawit ketika ditanya perihal lepasnya lahan seluas 263 ribu hektare ke tangan Guthrie Berhad, holding company asal Malaysia.Kepada Sang Saka, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Derom Bangun mengakui, pengusaha Indonesia tidak mampu membeli aset eks Salim Grup yang berupa lahan perkebunan kelapa sawit yang telah diambil-alih BPPN."Barangkali sudah ditawarkan pemerintah tapi mungkin tidak ada yang membeli apalagi imbas krisi moneter belum sepenuhnya teratasi," ujarnyaLahan kelapa sawit di Riau ini dijual senilai US$ 350 juta.
Terlepas dari besar kecil nilainya, yang pasti lahan Indonesia sudah menjadi milik negara saingan Indonesia dalam hal kelapa sawit. Apalagi kelapa sawit Indonesia, kata Bangun masih muda dan peluang produksi makin besar. Dari segi produksi, Indonesia saat ini masih kecil yakni 6,5 juta ton yang dibandingkan Malaysia 10,5 juta ton.Malaysia memang pemasok CPO terbesar di dunia. Dan Indonesia menjadi pesaing utamanya.
Namun yang terjadi, lahan kelapa sawit Malaysia sudah tidak mungkin lagi diperbesar. "Tak pelak kemampuan produksinya lama kelamaan akan menurun," kata Bangun.Tentunya kondisi Malaysia tersebut sangat berbeda dengan Indonesia. Lahan yang tersedia masih luas di Indonesia. Tapi karena investasi yang terhenti kemampuan produksi CPO menjadi kecil.Sementara harga tidak stabil. Bangun menyatakan, saat ini pasaran harga sawit dunia hanya US$ 205 per ton.
Harga ini merosot dibandingkan harga tahun-tahun sebelumnya. Turunnya harga sawit ini terjadi karena besarnya produksi tahun ini.Menurutnya, fluktuasi harga ini sulit diramalkan. Ia menilai kemampuan ekspor Indonesia saat ini masih rendah. Tahun 1999 ekspor baru mencapai 3,3 juta ton. Dari ekspor, masuk ke kas negar sebesar US$ 1 milyar.Sesuai Prosedur Sementar itu Wakil Ketua BPPN, Sumantri Slamet secara terpisah menyatakan, dasar yang dilakukan BPPN dalam melakukan penjualan aset yang imiliki itu sudah melalui prosedur yang sesuai.Jadi aneh kalau sekarang ini banyak kalangan mempersoalkan yang sudah terjadi. Kalau memang merasa keberatan dengan apa yang akan dilakukan BPPN, kenapa tidak dari dulu saja sebelum semuanya terlaksana. Kok, baru sekarang ribut-ributnya. Dulu tidak mempersoalkan," katanya.Sumantri juga menyammpaikan bahwa penjualan aset yang ada diBPPN itu dilakukan secara terbuka melalui lelang. Karena pengumuman lelang itu sendiri sudah dilakukan dan diumumkan pada masyarakat."Itu kan bisa diartikan terbuka. Jadi tidak ada penjualan aset yang dilakukan diam-diam. Kalau mau mempersoalkan dulu saja sebelum lelang dilaksanakan. Jadi kenapa baru sekarang mempersoalkannya," paparnya.
Sementara itu, humas bidang Asset Management Inbvestment (AMI) - BPPN, Jefry mengatakan, sebetulnya dalam penjualan aset yang ada di BPPN itu tetap mengacu untuk kepentingan negara bukan hanya sekedar mencari untung atau untuk mengejar target yang telah ditetapkan pemerintah pada BPPN."Apa yang dilakukan itu semuanya sudah benar. Kita tidak ingin melakukan sesuatu yang jelas merugikan negara. Maka itu kita pilih Guthrie sebagai pemenang tender lelang dalam perkebunan sawit milik grup Salim," jelasnya.Pilihan itu jatuh ke Guthrie, ungkap Jefry, karena perusahaan dari Malaysia itu telah memberikan penawaran tertinggi dibandingkan yang lain. Jadi semuanya jelas bahwa kalau dalam tender itu sendiri siapa saja boleh ikut, apa itu BUMN atau PMA."Jadi tidak benar kalau lelang yang dilakukan BPPN itu di bawah tangan atau dilakukan diam-diam, tidak terbuka," tuturnya.
Jadi sekali lagi perlu dijelaskan, mengapa PMA dari Malaysia itu yang membeli perkebunan sawit senilai US$ 350 juta atau Rp 3,3 triliun, sebab karena memang mereka tawarkan harga yang paling tinggi.Janji Bantu Penduduk Dia juga mengemukakan bahwa selain membeli lahan perkebunan sawit seluas 263 ribu hektare, mereka juga berjanji untuk mengucurkan bantuan bagi penduduk dilingkungan perkebunan dengan cara membangun pemukiman dan pembuatan sanitasi yang diperkirakan senilai US$ 100 juta."Apa itu tidak baik, jadi jangan dulu berprasangka bahwa nanti akan merugikan padahal mereka ingin bantu perekonomian Indonesia," tambahnya.Namun, lepas dari sejumlah alasan tersebut, seyogyanya memang BPPN dalam menjual aset-aset yang dipegangnya tetap memikirkan nuansa nasionalisme bangsa. Sebab bukan tidak mungkin, lepasnya lahan perkebunan eks Salim Grup itu belakangan hari menjadi bumerang bagi produksi CPO dalam negeri, termasuk pula harga minyak goreng lokal. (NS/ADF/NM)
SangSaka ,11 Des 2000
Labels: Guthrie Berhad
Sosok Guthrie Berhad
Salah datu aset Salim Group adalah lahan perkebunan kelapa sawit yang terhampar di Riau, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Sulawesi Tenggara.Melalui lelang terbuka lahan kelapa sawit itu jatuh ke tangan Kumpulan Guthrie Berhas (Guthrie) dari Malaysia.
Mereka membeli lahan perkebunan eks Group Salim dalam bentuk saham senialai US$ 350 juta atau sekitar Rp 3,3 triliun.Selebihnya Guthrie akan membayar Rp 357 milyar untuk utang PT Holdiko Perkasa sehingga jumlah pembayaran keseluruhan transaksi mencapai Rp 3,6 triliun. Itulah sebenarnya harga lahan perkebunan kelapa sawit eks milik Salim Group.Menurut Direktur AMI-BPPN Dasa Sutantio, Kumpulan Guthrie memberikan penawaran tinggi. Hal itu sangat mengembirakan. Selain tentunya juga menunjukkan komitmen dari Malaysia untuk membantu Indonesia dalam usaha memulihkan perekonomian Indonesia."Penjualan aset ini untuk membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan anggaran belanja tahun ini," katanya.
Saham-saham itu berasal dari empat perusahaan induk, yaitu PT Salim Sawitindo, PT Bhaskara Multipermata, PT Minamas Gemilang, dan PT Anugrah Sumbermakmur, dimana per 31 Desember 1999 memiliki 25 perusahaan perkebunan dengan luas sekitas 260.000 hektar. Perkebunan itu sendiri terletak di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.Direktur Holdiko Perkasa, Scott Coffey menjelaskan, dalam pelepasan aset ini yang dijual bukanlah tanah perkebunan tersebut, melainkan keseluruhan kepemilikan saham Holdiko atas perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.Sementara itu, dalam penawarannya Tan Sri Dato' Abdul Khalid Ibrahim selaku Group Chief Executive dari Kumpulan Guthrie Berhad mengatakan, Guthrie bermaksud untuk mengalihkan kepiasaiannya dalam mengelola bisnis perkebunan, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan keuntungannya kepada para pegawai, pemegang saham dan Indonesian secara umum.Guthrie juga mengharapkan saham-sahamnya dapat terdaftar di Bursa Efek Jakarta dalam jangka waktu 3-5 tahun. "Sesuai aspirasi Guthrie untuk selalu memiliki tanggung jawab sosial, nanti akan menyisihkan kepemilikan sahamnya sekitas 10 % untuk para pegawai perkebunan yang bersangkutan dan rakyat Indonesia," ungkap Abdul Khalid Ibrahim.Asal tahu saja, Kumpulan Guthrie Berhad merupakan perusahaan yang ahamnya terdaftas di Bursa Afek Kuala Lumpur, yang didirikan pada tahun 1812.
Sekarang ini Guthrie merupakan salah satu konglomerat terkemuka di Asean yang bergerak di bidang perkebunan, manufaktur dan pengembangan properti.PT Holdiko Perkasa didirikan sehubungan dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham antara Group Salim dangan BPPN akibat pinjaman yang diberikan oleh PT Bank Central Asia (BCA) kepada perusahaan-perusahaan yang berafiliansi dengan Group Salim.
Sebagai bagian dari perjanjian pelunasan utang oleh BPPN, Group Salim telah mengalihkan saham dan aset lebih dari 100 perusahaan yang operasional kepada Holdiko.Sebagai pemegang saham langsung maupun tidah langsung dari perusahaan-perusahaan tersebut, Holdiko bertanggung jawab untuk mengawasi masing-masing perusahaan dengan tujuan untuk menjual kepemilikan di perusahaan-perusahaan tersebut pada waktu yang tepat dan dengan nilai yang maksimal. Holdiko kemudian akan menyerahkan hasil penjualan tersebut kepada BPPN sebagai bagian dari perjanjian pelunasan hutang.Penjualan kepemilikan saham Holdiko dalam sektor perkebunan kelapa sawit tersebut, yang prosesnya dimulai pada bulan Agustus 2000. dibantu oleh penasehat keuangan Goldman Sachs.(ADF/NM)
Dikutip dari Koran Mingguan SangSaka, Edisi 4 - 11 Desember 2000, hal. 4
Labels: Guthrie Berhad, Salim Group
Simalakama Sawit Salim
Penjualan perkebunan kelapa sawit eks grup Salim kepada Guthrie dinilai akan memperkuat monopoli Malaysia. Apa ruginya buat Indonesia ?Dijual musuh yang untung, tidak dijual awak yang rugi. Boleh jadi itulah dilema yang dihadapi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ketika menjual 25 perkebunan kelapa sawit eks Grup Salim yang sekarang dikelola Holdiko Perkasa.
Di satu sisi, BPPN dibebani target untuk menyetor ke kas negara sebesar Rp 18,9 triliun. Di sisi lain, penjualan tersebut bisa membuat monopoli Malaysia di pasar CPO (crude palm oil, minyak sawit mentah) internasional akan semakin kuat dan dikhawatirkan merugikan Indonesia.Apakah BPPN punya pilihan lain? Melihat tawaran perusahaan Malaysia, Kumpulan Guthrie Berhad, agaknya BPPN sulit menampiknya. Perusahaan yang didirikan pada 1812 itu mengajukan harga penawaran US$350 juta plus pembayaran utang Holdiko Perkasa kepada BPPN sebesar US$20 juta. Ini merupakan penawaran tertinggi di antara tujuh penawar perkebunan sawit tersebut. Kabarnya, salah satu peminatnya adalah Salim sendiri, yang mengajukan harga di bawah US$ 300 juta. Harga itu juga lebih tinggi dari hasil valuasi Goldman Sachs, yang hanya US$200 juta - US$300 juta.
Karena itu, BPPN kemudian memutuskan memenangkan Guthrie. Dalam siaran pers yang diterbitkan BPPN Senin pekan lalu, perusahaan yang kini memiliki 55 perkebunan dan 13 pabrik CPO di berbagai negara ini akan menjadi pemilik baru lahan sawit seluas 260 ribu hektare atau 10 persen dari total luas lahan perkebunan sawit di Indonesia. Guthrie sendiri bukan pemain baru di Indonesia. Saat ini, Guthrie sedang menyelesaikan pembangunan pabrik CPO berkapasitas 30 ribu ton per tahun di Pasaman, Sumatra Barat, dengan investasi US$6 juta.
Penjualan ini juga merupakan yang tertinggi dalam sejarah penjualan aset BPPN.Tapi, menurut beberapa kalangan, penjualan ini mengandung risiko yang tidak kecil. Cita-cita Indonesia untuk menggantikan Malaysia sebagai raja CPO dunia bisa gagal. Padahal, tak sedikit duit yang sudah dikucurkan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Menurut Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian, Agus Pakpahan, perkebunan swasta menikmati kredit berbunga rendah, hanya 12 persen, sementara suku bunga kredit komersial ketika itu 16 - 17 persen. Lahan yang dikembangkan pun berlipat lebih dari dua kali. Sementara pada 1990 arealnya baru 1,1 juta hektare, kini sudah 2,6 juta hektare. Pendek kata, banyak pihak yang yakin Indonesia akan bisa menggantikan Malaysia dalam lima tahun ke depan.Nah, penjualan tersebut bisa jadi akan membalikkan keyakinan tersebut.
Ketua Presidium Uni Sosial Demokrat, Bambang Warih Koesoema, mengungkapkan bahwa dengan penjualan tersebut, Malaysia dalam jangka panjang akan menguasai 89 persen pasar CPO dunia, padahal Indonesia menguasai pasokan sawit 50 persen. "Indonesia hanya akan jadi penyedia bahan baku alias hanya menjadi bangsa kuli," kata Bambang, seraya menambahkan bahwa 30 persen perkebunan sawit Indonesia kini berada di tangan Malaysia.Pakpahan dan Bambang - keduanya mempunyai cara valuasi berbeda - juga menyoroti harga jual perkebunan yang begitu murah. Menurut Pakpahan, harga jual perkebunan Salim hanya Rp 12 juta per hektare. Padahal, untuk mengembangkan perkebunan sawit, minimum dibutuhkan Rp 15 juta per hektare. "Harga kebun Salim yang wajar sekitar Rp 16 juta," kata Pakpahan. Sementara itu, Bambang menghitung bahwa untuk membangun perkebunan sawit baru seluas 1.000 hektare, dibutuhkan US$2,7 juta, sedangkan kebun Salim dijual cuma US$ 1,1 juta-US$ 1,2 juta. "Hitungan saya, harga kebun Salim paling murah US$900 juta," kata Bambang.
Namun, Direktur Asset Management Investment (AMI) BPPN, Dasa Sutantio, membantahnya. Menurut dia, itu merupakan harga terbaik. "Dan prosesnya transparan melalui tender," kata Dasa. Analis SocGen, Erwan Teguh, juga punya pendapat yang sama. "Harganya cukup bagus," ujarnya. Selain itu, Indonesiajuga bisa mendapatkan transfer teknologi dalam pemeliharaan perkebunan sawit ataupun pengolahan CPO. Harus diakui, Malaysia jauh lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari produktivitas CPO Malaysia, yang lebih bagus dari Indonesia (lihat tabel).
Di samping itu, Guthrie juga menawarkan 10 persen sahamnya untuk buruh perkebunan dan masyarakat sekitarnya.Menurut Erwan, Indonesia toh masih bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Dia mencontohkan Malaysia, yang melarang ekspor CPO mentah dan mengharuskan sudah dalam bentuk olahan. Kebijakan ini mengharuskan setiap perkebunan kelapa sawit memiliki pabrik pengilangan (refinery) sendiri. "Indonesia bisa menerapkan kebijakan yang sama," kata Erwan. Jika ini bisa dilaksanakan, akan ada investasi baru dan juga penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak. (M. Tauflqurohman, Iwan Setlawan)]
Perbandingan CPO Malaysia-Indonesia Tahun 2000
Kategori Malaysia Indonesia
Luas Lahan [juta Ha] 2,54 2,90
Produksi [juta ton] 10,65 6,50
Ekspor [juta ton] 8,59 3,16
Produktivitas [ton/Ha] 4,20 1,50 - 3,50
Tempo ,10 Des 2000
Labels: Guthrie Berhad, Salim Group
Harga Minyak Goreng bakal Melangit
Penjualan kebun kelapa sawit milik Grup Salim oleh BPPN kepada Kumpulan Guthrie Berhad, Malaysia, masih mengundang pro-kontra. Harga minyak goreng siap-siap meroket ?
Ini kisah tentang `si licin`, minyak goreng. Bahan pokok ini, sempat dikuasai oleh Grup Salim sejak paro terakhir Orde Baru. Tapi, seiring pergantian kekuasaan ditambah terpaan krisis ekonomi, imperium Salim di segala sektor (termasuk minyak goreng dan bahan bakunya), ikut terkikis. Satu per satu asetnya diambil alih oleh pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Juga kebun kelapa sawit seluas 280 ribu hektare miliknya, yang menjadi bahan baku minyak goreng.
Maka, saat BPPN mulai melelang aset yang dikuasainya dan dikejar-kejar dead linepemasukan uang ke kas negara, maka kebun kelapa sawit bekas milik Salim ini pun ikut dijual. Yang beruntung, adalah Kumpulan Guthrie Berhad, Malaysia. Mereka membeli kebun itu senilai Rp 3,3 triliun. Saat itu juga (27 November 2000), kebun kelapa sawit terluas di Indonesia itu menjadi hak perusahaan investasi terbesar milik pemerintah Malaysia itu.
Transaksi senilai Rp 3,3 triliun itu menjadi transaksi terbesar kedua BPPN, setelah penjualan PT Astra Internasional Tbk, bulan lalu. Kemenangan Guthrie mengajukan penawaran tertinggi membeli perkebunan sawit grup Salim, sekaligus mengamankan posisinya dalam bisnis perkebunan regional. Kini, perusahaan Malaysia ini memiliki 100 ribu hektare lahan perkebunan di Malaysia, yang 80 persen di antaranya berupa kebun kelapa sawit. Hal ini dikhawatirkan akan menjadikan negeri jiran itu memonopoli perdagangan crude palm oil (CPO) dunia.
Toh, Chief Executive Guthrie Berhad Tan Sri Dato Abdul Khalid Ibrahim berjanji, pihaknya bermaksud mengalihkan kepiawaian dalam mengelola bisnis perkebunan untuk tujuan meningkatkan nilai dan keuntungan kepada para pegawai dan pemegang saham dari Indonesia pada umumnya. Hal itu ditempuh dengan menyisihkan 10 persen saham untuk pegawai dan rakyat Indonesia.
Pro dan kontra
Namun, penjualan perkebunan kelapa sawit Grup Salim yang juga menjadi perkebunan swasta terbesar di Indonesia itu, tetap mengundang pro dan kontra dari kalangan perindustrian, perkebunan, serta pengamat perekonomian. Mengingat imbas atau masa depan produksi minyak goreng dalam negeri, dikhawatirkan bakal menjadi bulan-bulanan.
BPPN tentu saja bersikukuh mengatakan bahwa penjualan tersebut sah dan sesuai dengan aturan yang ada. Karena perkebunan tersebut adalah salah satu dari 100 perusahaan yang diserahkan Salim ke BPPN. Tapi, Direktur Jenderal Perkebunan Agus Pakpahan, menyayangkan penjualan kebun kelapa sawit milik Grup Salim oleh BPPN kepada Guthrie Berhad, Malaysia. Pasalnya, "Perkebunan kelapa sawit milik Salim itu adalah salah satu perkebunan terbaik yang dimiliki swasta Indonesia dan mampu menghasilkan devisa cukup besar sekalipun dalam keadaan krisis," Agus menjelaskan.
Dengan dibelinya perkebunan tersebut oleh pihak asing, tambah Agus, maka pemerintah Indonesia tidak dapat mengontrolnya. Padahal keberadaan lahan perkebunan daerah tidak hanya berfungsi ekonomis atau bisnis, tapi juga memiliki fungsi sosial dan ekologi. "Mereka bisa memainkan harga, sehingga akan mempengaruhi produk perkebunan lain di Tanah Air, yang rugi adalah petani kita sendiri," ucapnya.
Bahkan, dampaknya yang paling dahsyat bagi Indonesia dalam jangka panjang adalah konsentrasi industri hilir yang diperkirakan sekitar 168-200 jenis dan memiliki nilai tambah yang besar, tidak lagi berada di Indonesia. Posisinya akan bergeser ke Malaysia. Dan Indonesia hanya sebagai penyedia bahan baku saja. Kalaupun terdapat nilai tambah, masih kata Agus, itu hanya bersifat komplementer terhadap kebijakan Malaysia.
Bukan itu saja, kalangan pengusaha internasional dan pejabat perindustrian juga berpendapat perkebunan kelapa sawit Indonesia memiliki keuntungan bagi pengusaha terutama karena murahnya biaya tenaga kerja dan depresiasi rupiah. "Input dihitung dengan rupiah, sementara minyak kelapa sawit mentah (CPO) dijual dalam dolar AS. Kombinasi ini tidak dapat disaingi negara mana pun," ucap mereka.
Suara miring ihwal penjualan perkebunan kelapa sawit Grup Salim oleh BPPN, juga diungkapkan Ir Thomas Darmawan, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia. "Saya sangat menyayangkan penjualan ini. Selain dijual dengan harga murah oleh BPPN, penjualan tersebut terkesan karena mendapat tekanan dari internasional," ujarnya.
Lagi pula, kritik Thomas, persyaratan BPPN sangat berat untuk dicapai oleh pengusaha nasional. "Masa dalam penjualan yang begitu besar harus dibayar dengan cash," sesalnya. "Sekarang saja harga minyak goreng mencapai harga terendah 260-300 dolar. Padahal sebelumnya kita pernah mencapai 600-700 dolar. Dengan dijualnya perkebunan terbesar Indonesia ke Malaysia, bisa saja target estimasi tahun 2001 sebesar 400-450 dolar, sulit tercapai," ungkap Thomas.
Tapi, anggota asosiasi minyak goreng, AIMMI DKI Jakarta, Adiwicaksono tak mempersoalkan penjualan itu. Ia justru mendukung tindakan BPPN. "Namanya usaha, mana yang lebih menguntungkan itu yang dicari. Wajar-wajar saja, kalau BPPN melepas perkebunan kelapa sawit Salim Grup ke Malaysia, karena mereka mengajukan penawaran tertinggi dengan pembayaran yang jelas," katanya.
Dukungan pada BPPN juga diutarakan pengamat sekaligus Director Centre for Agriculture Policy Studies (CAPS), HS Dillon. Menurutnya, kalau sekarang perusahaan kelapa sawit milik Grup Salim diambil alih Guthrie Malaysia hal itu baik sekali. "Biar semua orang tahu betapa buruknya mental konglomerat Indoneaia yang membiarkan dananya parkir di luar negeri, sementara usahanya di sini dibiarkan bangkrut. Hal itu menandakan pengusaha kita bermental pencuri," katanya. Memang, Salim banyak membuat simalakama. (DF/TK/CR-3/T-3/T-1)
Media Indonesia, 07 Des 2000
Ini kisah tentang `si licin`, minyak goreng. Bahan pokok ini, sempat dikuasai oleh Grup Salim sejak paro terakhir Orde Baru. Tapi, seiring pergantian kekuasaan ditambah terpaan krisis ekonomi, imperium Salim di segala sektor (termasuk minyak goreng dan bahan bakunya), ikut terkikis. Satu per satu asetnya diambil alih oleh pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Juga kebun kelapa sawit seluas 280 ribu hektare miliknya, yang menjadi bahan baku minyak goreng.
Maka, saat BPPN mulai melelang aset yang dikuasainya dan dikejar-kejar dead linepemasukan uang ke kas negara, maka kebun kelapa sawit bekas milik Salim ini pun ikut dijual. Yang beruntung, adalah Kumpulan Guthrie Berhad, Malaysia. Mereka membeli kebun itu senilai Rp 3,3 triliun. Saat itu juga (27 November 2000), kebun kelapa sawit terluas di Indonesia itu menjadi hak perusahaan investasi terbesar milik pemerintah Malaysia itu.
Transaksi senilai Rp 3,3 triliun itu menjadi transaksi terbesar kedua BPPN, setelah penjualan PT Astra Internasional Tbk, bulan lalu. Kemenangan Guthrie mengajukan penawaran tertinggi membeli perkebunan sawit grup Salim, sekaligus mengamankan posisinya dalam bisnis perkebunan regional. Kini, perusahaan Malaysia ini memiliki 100 ribu hektare lahan perkebunan di Malaysia, yang 80 persen di antaranya berupa kebun kelapa sawit. Hal ini dikhawatirkan akan menjadikan negeri jiran itu memonopoli perdagangan crude palm oil (CPO) dunia.
Toh, Chief Executive Guthrie Berhad Tan Sri Dato Abdul Khalid Ibrahim berjanji, pihaknya bermaksud mengalihkan kepiawaian dalam mengelola bisnis perkebunan untuk tujuan meningkatkan nilai dan keuntungan kepada para pegawai dan pemegang saham dari Indonesia pada umumnya. Hal itu ditempuh dengan menyisihkan 10 persen saham untuk pegawai dan rakyat Indonesia.
Pro dan kontra
Namun, penjualan perkebunan kelapa sawit Grup Salim yang juga menjadi perkebunan swasta terbesar di Indonesia itu, tetap mengundang pro dan kontra dari kalangan perindustrian, perkebunan, serta pengamat perekonomian. Mengingat imbas atau masa depan produksi minyak goreng dalam negeri, dikhawatirkan bakal menjadi bulan-bulanan.
BPPN tentu saja bersikukuh mengatakan bahwa penjualan tersebut sah dan sesuai dengan aturan yang ada. Karena perkebunan tersebut adalah salah satu dari 100 perusahaan yang diserahkan Salim ke BPPN. Tapi, Direktur Jenderal Perkebunan Agus Pakpahan, menyayangkan penjualan kebun kelapa sawit milik Grup Salim oleh BPPN kepada Guthrie Berhad, Malaysia. Pasalnya, "Perkebunan kelapa sawit milik Salim itu adalah salah satu perkebunan terbaik yang dimiliki swasta Indonesia dan mampu menghasilkan devisa cukup besar sekalipun dalam keadaan krisis," Agus menjelaskan.
Dengan dibelinya perkebunan tersebut oleh pihak asing, tambah Agus, maka pemerintah Indonesia tidak dapat mengontrolnya. Padahal keberadaan lahan perkebunan daerah tidak hanya berfungsi ekonomis atau bisnis, tapi juga memiliki fungsi sosial dan ekologi. "Mereka bisa memainkan harga, sehingga akan mempengaruhi produk perkebunan lain di Tanah Air, yang rugi adalah petani kita sendiri," ucapnya.
Bahkan, dampaknya yang paling dahsyat bagi Indonesia dalam jangka panjang adalah konsentrasi industri hilir yang diperkirakan sekitar 168-200 jenis dan memiliki nilai tambah yang besar, tidak lagi berada di Indonesia. Posisinya akan bergeser ke Malaysia. Dan Indonesia hanya sebagai penyedia bahan baku saja. Kalaupun terdapat nilai tambah, masih kata Agus, itu hanya bersifat komplementer terhadap kebijakan Malaysia.
Bukan itu saja, kalangan pengusaha internasional dan pejabat perindustrian juga berpendapat perkebunan kelapa sawit Indonesia memiliki keuntungan bagi pengusaha terutama karena murahnya biaya tenaga kerja dan depresiasi rupiah. "Input dihitung dengan rupiah, sementara minyak kelapa sawit mentah (CPO) dijual dalam dolar AS. Kombinasi ini tidak dapat disaingi negara mana pun," ucap mereka.
Suara miring ihwal penjualan perkebunan kelapa sawit Grup Salim oleh BPPN, juga diungkapkan Ir Thomas Darmawan, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia. "Saya sangat menyayangkan penjualan ini. Selain dijual dengan harga murah oleh BPPN, penjualan tersebut terkesan karena mendapat tekanan dari internasional," ujarnya.
Lagi pula, kritik Thomas, persyaratan BPPN sangat berat untuk dicapai oleh pengusaha nasional. "Masa dalam penjualan yang begitu besar harus dibayar dengan cash," sesalnya. "Sekarang saja harga minyak goreng mencapai harga terendah 260-300 dolar. Padahal sebelumnya kita pernah mencapai 600-700 dolar. Dengan dijualnya perkebunan terbesar Indonesia ke Malaysia, bisa saja target estimasi tahun 2001 sebesar 400-450 dolar, sulit tercapai," ungkap Thomas.
Tapi, anggota asosiasi minyak goreng, AIMMI DKI Jakarta, Adiwicaksono tak mempersoalkan penjualan itu. Ia justru mendukung tindakan BPPN. "Namanya usaha, mana yang lebih menguntungkan itu yang dicari. Wajar-wajar saja, kalau BPPN melepas perkebunan kelapa sawit Salim Grup ke Malaysia, karena mereka mengajukan penawaran tertinggi dengan pembayaran yang jelas," katanya.
Dukungan pada BPPN juga diutarakan pengamat sekaligus Director Centre for Agriculture Policy Studies (CAPS), HS Dillon. Menurutnya, kalau sekarang perusahaan kelapa sawit milik Grup Salim diambil alih Guthrie Malaysia hal itu baik sekali. "Biar semua orang tahu betapa buruknya mental konglomerat Indoneaia yang membiarkan dananya parkir di luar negeri, sementara usahanya di sini dibiarkan bangkrut. Hal itu menandakan pengusaha kita bermental pencuri," katanya. Memang, Salim banyak membuat simalakama. (DF/TK/CR-3/T-3/T-1)
Media Indonesia, 07 Des 2000
Labels: Guthrie Berhad, Palm Oil, Salim Group
Menjual Kebun, Menuai Sengketa
Tidak seperti penjualan beberapa aset yang dikuasai BPPN lainnya, penjualan perkebunan seluas 262.653 hektar itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat, khususnya masyarakat Riau yang dengan terang-terangan meminta agar penjualan dibatalkan.Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari Pingau Riau, Kelompok Tani Sawit anggota Seksi Riau, serta Kelompok Tani yang tergabung dalam koperasi, antara lain Karya Maritim, Riau Bertuah, dan Gema Bunut Riau, sangat menyesalkan pengalihan kepemilikan perkebunan eks milik Salim itu kepada perusahaan Malaysia.
Menurut masyarakat, pengalihan kepemilikan tidak seharusnya dilakukan begitu saja tanpa mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan. Sebab, perkebunan yang dikuasai oleh Grup Salim masih dalam sengketa dengan masyarakat setempat.
Tidak hanya itu, kekhawatiran terhadap pengalihan kepemilikan perkebunan kepada perusahaan asing juga terlontar dari Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Agus Pakpahan. Sebab perkebunan, yang notabene aset utamanya adalah tanah, tidak hanya memiliki fungsi ekonomi, tapi juga ekologi dan sosial. "Kalau dimiliki oleh asing, bagaimana kita dapat melakukan kontrol agar fungsi sosial dari tanah di mana perkebunan itu berada tetap dapat dilaksanakan," katanya.
Apalagi, menurut Presidium Uni Sosial Demokrat Bambang Warih Koesoema, proses pengembangan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit di masa lalu banyak memperkosa rasa keadilan rakyat. Selain pemberian berbagai fasilitas kepada para pengusaha perkebunan itu. "Kami setuju dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke Malaysia," kata Bambang. Dia telah menulis surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan rencana penjualan aset-aset "pasien" BPPN.
Pemberian fasilitas yang melimpah ruah kepada para pengusaha perkebunan besar itu diakui oleh Pakpahan. Pemerintahan rezim Orde Baru pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an mencanangkan program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Melalui program ini pemerintah memberi berbagai kemudahan dan fasilitas kepada pengusaha untuk membangun perkebunan kelapa sawit.
Kemudahan itu antara lain dengan memberi bunga hanya 10 persen terhadap kredit perbankan untuk membuka perkebunan kelapa sawit, jauh lebih rendah dari bunga yang berlaku saat itu. Selain kemudahan dalam pembebasan tanah, pemberian hak guna usaha, dan sebagainya.
"Jadi berhasilnya Salim mengembangkan perkebunan kelapa sawit bukan semata-mata karena kepiawaian manajemennya. Tapi ada elemen masyarakat didalamnya, yaitu berupa subsidi bunga yang dinikmati oleh Salim," kata Pakpahan.
Dari sisi target, program PBSN yang dicanangkan oleh pemerintah berhasil. Data yang diolah dari Ditjen Perkebunan menunjukkan, dari tahun ke tahun mulai 1990 hingga 1998, terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Jika pada tahun 1990 luas perkebunan besar swasta (PBS) hanya 463.093 hektar, maka tahun 1998 mencapai 1.276.214 hektar.
Peningkatan juga terjadi pada areal perkebunan besar nasional (PBN), tahun 1990 hanya 372.246 hektar, tahun 1998 menjadi 476.645 hektar. Sementara perkebunan rakyat meningkat sekitar tiga kali lipatnya, yaitu dari 291.338 hektar pada tahun 1990 menjadi 881.040 hektar pada tahun 1998. Dari perkembangan itu, total luas areal perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai 2.633.899 hektar, dari 1.126.677 hektar pada tahun 1990.
Keberhasilan mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit tersebut harus dibayar dengan berbagai persoalan, baik persoalan sosial maupun ekologi. Berbagai sengketa tanah antara masyarakat setempat dengan pengusaha muncul seiring dengan pembukaan beberapa areal perkebunan besar. Seiring dengan bergulirnya reformasi, sengketa yang tadinya dapat "diredam" dengan "membungkam" masyarakat, kini mencuat lagi. Ini antara lain tampak dari gugatan masyarakat Riau.
Di sisi lain, persoalan ekologi sebagai dampak dari keinginan menggebu untuk mengembangkan perkebunan besar, juga tidak kalah seriusnya. Sebagian besar areal perkebunan besar tersebut adalah konversi dari areal hutan yang telah habis dieksploitasi oleh para pemegang HPH (hak pengusahaan hutan). Hutan-hutan tersebut tidak lagi direboisasi untuk dikembalikan ke kondisi asalnya, tapi dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dari perhitungan ekonomis pilihan itu tampak logis. Jika "dihutankan" kembali, setidaknya 30 tahun lagi baru dapat dilakukan penebangan untuk mendapat hasilnya. Tetapi, dengan mengon-versinya menjadi perkebunan kelapa sawit, maka tujuh tahun setelah penanaman sudah dapat dipetik keuntungannya.
Pemikiran seperti itu yang membuat setiap tahun dilakukan konversi areal hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa memperhitungkan dampak ekologinya. Data yang dipaparkan oleh Eric Wakker dalam Inside Indonesia No 58 edisi April/Juni 1999, menyebutkan, pada tahun 1990 seluas 150.000 hektar areal hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, setiap tahun tidak kurang dari 100.000 hektar dikonversi, bahkan tahun 1995, 1996, dan 1997 dilakukan konversi rata-rata 225.000 hektar.
Penghentian konversi areal hutan menjadi perkebunan baru terjadi pada tahun 2000 ini. Itupun karena harus memenuhi komitmen yang sudah dibuat dengan Consultative Group on Indonesia (CGI). Dari delapan komitmen yang harus dipenuhi untuk sektor kehutanan, salah satunya adalah melakukan moratorium konversi terhadap hutan.
Sebelumnya, di era kepemimpinan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution, WWF (Worldwide Fund for Na-ture) dan beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) lingkungan lainnya meminta agar rawa dan hutan pasang surut Se-buku Sembakung Kalimantan Timur tidak dikonversi menjadi perkebunan.
Imbauan itu dipenuhi, Nasu-tion memutuskan untuk membatalkan sembilan izin konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, yang 100.000 hektar di antaranya termasuk kawasan taman nasional. Empat dari sembilan izin yang dibatalkan itu adalah milik Grup Salim, yang konsesinya didapat di era mantan Presiden Soeharto.
***
PERTUMBUHAN komoditas kelapa sawit bukan hanya dalam ekspansi areal perkebunannya, tetapi juga produk minyak yang dihasilkannya. Dalam dua dekade terakhir ini subsektor kelapa sawit adalah yag tercepat pertumbuhannya, di mana produk minyak sawit mentah (CPO/ crude palm oil) meningkat dari 2,7 juta ton pada tahun 1991 menjadi 5,9 juta ton di tahun 1999. Pada tahun 2000 ini diperkirakan produk CPO Indonesia mencapai 6,5 juta ton.
Pada tahun-tahun mendatang, diprediksi produksi akan terus meningkat seiring dengan tingkat kematangan pohon kelapa sawit di perkebunan-perkebunan besar. Dari jumlah produksi itu, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara pengekspor CPO dunia.
Urutan pertama diduduki oleh Malaysia, yang memasok 50,3 persen kebutuhan dunia atau sekitar 8.850.000 ton. Sementara ekspor Indonesia mencapai 30,5 persen dari kebutuhan dunia atau sekitar 5.360.000 ton. Sisanya, sekitar 19,2 persen atau 3.377.000 ton dipasok oleh negara-negara lain, seperti Thailand, dan beberapa negara Afrika.
Para analis dunia memperkirakan dengan terbukanya peluang untuk melakukan ekstensifikasi, dengan perencanaan yang matang, manajemen yang baik, sungguh-sungguh dan konsisten, maka tahun 2010 bukan tidak mungkin Indonesia mengambil alih posisi Malaysia sebagai negara penghasil CPO terbesar.
Apalagi, selain lahan, Indo-nesia memiliki keunggulan komparatif berupa melimpahnya tenaga kerja. Budidaya kelapa sawit sangatlah padat karya. Meski memiliki keunggulan teknologi, untuk melakukan ekspansi lebih lanjut Malaysia terhadang faktor ketersediaan lahan dan tenaga kerja.
Namun, sejak dua tahun terakhir, Malaysia telah mencanangkan kelapa sawit sebagai komoditi ekonomi unggulannya. Untuk mewujudkan tekad itu, sebagian areal perkebunan karetnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Investasi besar-besaran dilakukan untuk memperluas skala usaha perkebunan kelapa sawitnya. Bahkan dicanangkan, bila perlu dengan melakukan ekspansi ke Indonesia, seperti dilaporkan oleh SCB Research Institute Thailand dalam analisis Economic Situation, Mei 2000.
Jalan ekspansi itu kini terbuka, tidak hanya untuk perkebunan kelapa sawit, tapi juga untuk pengembangan industri turunannya seperti oil & fat. Bambang Warih mencermati arah dari kebijakan melakukan ekspansi itu adalah untuk mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia.
Dengan membeli eks milik perkebunan Grup Salim, Guthrie telah melampaui hambatan penguasaan lahan lebih dari 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebab berdasarkan Keputusan Presiden No 107/Kpts-11/1999 tertanggal 3 Maret 1999, ditetapkan seluruh HGU (Hak Guna Usaha) baru tidak boleh lebih dari 20.000 hektar di satu propinsi, dan 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini menjadi hambatan bagi investor baru yang mencari konsesi baru yang sangat luas bagi perkebunan.
Bambang menjelaskan, untuk dapat menguasai aset-aset strategis, modus operandi yang dilakukan adalah dengan membentuk investor connection (jaringan investor. Jaringan itu diberi peran untuk menawar dan melakukan pembelian atas aset-aset seperti Holdiko Perkasa, Kiani Wirudha, Tunas Sepadan, Bentala Kartika Abadi, Cakrawala Gita, dengan sistem paket dengan harapan agar dapat harga murah.
"BPPN sendiri sedang dalam keadaan yang kondusif untuk menerima system deal seperti itu. Setelah seluruh aset secara paket pindah tangan kepada investor connection, maka muncul lah natural interest (kepentingan aslinya -Red) serta pembeli yang sebenarnya," kata Bambang Warih, yang mantan anggota DPR.
Pada akhirnya, lanjut Bambang, seluruh aset akan dijual kembali kepada publik, kecuali aset bisnis yang memiliki kaitan dengan bisnis kelapa sawit, sebab akan disertakan dalam kebijakan manajemen politik pemerintah Malaysia.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan membuat peta pasokan CPO akan bergeser, Malaysia akan menguasai 89 persen kebijakan CPO dunia. Meski, secara realitas di masa datang Indonesia akan menjadi pemasok terbesar CPO dunia, yaitu sekitar 50 persen.
Kekhawatiran yang dilontarkan Bambang tidak hanya itu, tapi juga pada dampak ikutannya. Yaitu, dalam jangka panjang konsentrasi industri hilir dari perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya bisa mencapai 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. "Dan posisi Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Kalaupun ada nilai tambah sifatnya hanya komplemen terhadap kebijakan negara Malaysia," ungkapnya.
Oleh karena itu, melalui suratnya kepada Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri tertanggal 2 Oktober 2000, jauh sebelum BPPN mengumumkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim, Bambang Warih mengusulkan, segera dilakukan langkah pencegahan.
"Bila BPPN tidak mendapat mitra swasta yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam membeli aset BPPN itu, sebaiknya konsorsium BUMN yang sehat dapat sementara memiliki aset tersebut. Dengan demikian kita masih dapat bernafas dan berharap mendapat peluang melindungi kepentingan rakyat Indonesia di masa depan, dan masih memberikan waktu luang untuk mencarikan jalan keluarnya," saran Bambang Warih Koesoema. Komoditi kelapa sawit beserta produk turunannya adalah satu di antara sedikit komoditi yang tangguh, yang dapat bertahan selama negeri ini mengalami krisis. Bahkan, dari industri minyak sawit ini Indonesia memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai dollar AS, sementara industri lainnya "bergelimpangan".
Selama Indonesia mengalami krisis, industri minyak sawit adalah satu di antara sedikit industri yang dapat bertahan, bahkan memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai tukar dollar AS. "Dalam krisis ekonomi, yang masih tahan dan menjadi sumber kita adalah perkebunan, terutama untuk ekspor. Dan kelapa sawit dengan industri turunannya sangat berperan dan menjadi sangat penting untuk perolehan devisa," kata Dirjen Perkebunan.
Perkebunan eks milik Grup Salim termasuk yang terbaik, dan menjadi salah satu kunci dari industri minyak sawit Indonesia. Selain arealnya yang bagus, juga karena memiliki industri vertikal yang terintegrasi. Yaitu, mulai dari penanaman, pemanenan, pengolahan dari FFB menjadi CPO dan PKO (palm kernel oil). "Itu adalah barang jadi. Dikelola siapa pun akan jalan, karena memang barang bagus," ujar Pakpahan.
Persoalannya, "barang" bagus itu kini telah beralih menjadi milik asing, dan mungkin "barang" bagus-"barang" bagus lainnya akan menyusul "lepas" dari genggaman. Kini tinggal bagaimana kemampuan pemerintah melakukan antisipasi kebijakan agar kontrol terhadap terlaksananya fungsi sosial tanah yang dikuasai perkebunan dapat tetap difungsikan. Sehingga perkebunan tetap dapat menjadi instrumen bagi kebijakan-kebijakan strategis, terutama, yang terkait dengan masalah non pasar, seperti kebijakan harga yang bersifat pemerataan, dan sebagainya.
Di balik itu, ada persoalan besar yang juga harus segera dijawab, kemana pembangunan pertanian kita akan dibawa?. Sudahkah ada strategi besar yang menjadi landasan bagi setiap kebijakan dan langkah dibuat. Kalau tidak ada, cukup kita bertanya," Quo vadis perkebunan?". (Elly Roosita)
Menurut masyarakat, pengalihan kepemilikan tidak seharusnya dilakukan begitu saja tanpa mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan. Sebab, perkebunan yang dikuasai oleh Grup Salim masih dalam sengketa dengan masyarakat setempat.
Tidak hanya itu, kekhawatiran terhadap pengalihan kepemilikan perkebunan kepada perusahaan asing juga terlontar dari Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Agus Pakpahan. Sebab perkebunan, yang notabene aset utamanya adalah tanah, tidak hanya memiliki fungsi ekonomi, tapi juga ekologi dan sosial. "Kalau dimiliki oleh asing, bagaimana kita dapat melakukan kontrol agar fungsi sosial dari tanah di mana perkebunan itu berada tetap dapat dilaksanakan," katanya.
Apalagi, menurut Presidium Uni Sosial Demokrat Bambang Warih Koesoema, proses pengembangan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit di masa lalu banyak memperkosa rasa keadilan rakyat. Selain pemberian berbagai fasilitas kepada para pengusaha perkebunan itu. "Kami setuju dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke Malaysia," kata Bambang. Dia telah menulis surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan rencana penjualan aset-aset "pasien" BPPN.
Pemberian fasilitas yang melimpah ruah kepada para pengusaha perkebunan besar itu diakui oleh Pakpahan. Pemerintahan rezim Orde Baru pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an mencanangkan program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Melalui program ini pemerintah memberi berbagai kemudahan dan fasilitas kepada pengusaha untuk membangun perkebunan kelapa sawit.
Kemudahan itu antara lain dengan memberi bunga hanya 10 persen terhadap kredit perbankan untuk membuka perkebunan kelapa sawit, jauh lebih rendah dari bunga yang berlaku saat itu. Selain kemudahan dalam pembebasan tanah, pemberian hak guna usaha, dan sebagainya.
"Jadi berhasilnya Salim mengembangkan perkebunan kelapa sawit bukan semata-mata karena kepiawaian manajemennya. Tapi ada elemen masyarakat didalamnya, yaitu berupa subsidi bunga yang dinikmati oleh Salim," kata Pakpahan.
Dari sisi target, program PBSN yang dicanangkan oleh pemerintah berhasil. Data yang diolah dari Ditjen Perkebunan menunjukkan, dari tahun ke tahun mulai 1990 hingga 1998, terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Jika pada tahun 1990 luas perkebunan besar swasta (PBS) hanya 463.093 hektar, maka tahun 1998 mencapai 1.276.214 hektar.
Peningkatan juga terjadi pada areal perkebunan besar nasional (PBN), tahun 1990 hanya 372.246 hektar, tahun 1998 menjadi 476.645 hektar. Sementara perkebunan rakyat meningkat sekitar tiga kali lipatnya, yaitu dari 291.338 hektar pada tahun 1990 menjadi 881.040 hektar pada tahun 1998. Dari perkembangan itu, total luas areal perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai 2.633.899 hektar, dari 1.126.677 hektar pada tahun 1990.
Keberhasilan mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit tersebut harus dibayar dengan berbagai persoalan, baik persoalan sosial maupun ekologi. Berbagai sengketa tanah antara masyarakat setempat dengan pengusaha muncul seiring dengan pembukaan beberapa areal perkebunan besar. Seiring dengan bergulirnya reformasi, sengketa yang tadinya dapat "diredam" dengan "membungkam" masyarakat, kini mencuat lagi. Ini antara lain tampak dari gugatan masyarakat Riau.
Di sisi lain, persoalan ekologi sebagai dampak dari keinginan menggebu untuk mengembangkan perkebunan besar, juga tidak kalah seriusnya. Sebagian besar areal perkebunan besar tersebut adalah konversi dari areal hutan yang telah habis dieksploitasi oleh para pemegang HPH (hak pengusahaan hutan). Hutan-hutan tersebut tidak lagi direboisasi untuk dikembalikan ke kondisi asalnya, tapi dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dari perhitungan ekonomis pilihan itu tampak logis. Jika "dihutankan" kembali, setidaknya 30 tahun lagi baru dapat dilakukan penebangan untuk mendapat hasilnya. Tetapi, dengan mengon-versinya menjadi perkebunan kelapa sawit, maka tujuh tahun setelah penanaman sudah dapat dipetik keuntungannya.
Pemikiran seperti itu yang membuat setiap tahun dilakukan konversi areal hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa memperhitungkan dampak ekologinya. Data yang dipaparkan oleh Eric Wakker dalam Inside Indonesia No 58 edisi April/Juni 1999, menyebutkan, pada tahun 1990 seluas 150.000 hektar areal hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, setiap tahun tidak kurang dari 100.000 hektar dikonversi, bahkan tahun 1995, 1996, dan 1997 dilakukan konversi rata-rata 225.000 hektar.
Penghentian konversi areal hutan menjadi perkebunan baru terjadi pada tahun 2000 ini. Itupun karena harus memenuhi komitmen yang sudah dibuat dengan Consultative Group on Indonesia (CGI). Dari delapan komitmen yang harus dipenuhi untuk sektor kehutanan, salah satunya adalah melakukan moratorium konversi terhadap hutan.
Sebelumnya, di era kepemimpinan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution, WWF (Worldwide Fund for Na-ture) dan beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) lingkungan lainnya meminta agar rawa dan hutan pasang surut Se-buku Sembakung Kalimantan Timur tidak dikonversi menjadi perkebunan.
Imbauan itu dipenuhi, Nasu-tion memutuskan untuk membatalkan sembilan izin konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, yang 100.000 hektar di antaranya termasuk kawasan taman nasional. Empat dari sembilan izin yang dibatalkan itu adalah milik Grup Salim, yang konsesinya didapat di era mantan Presiden Soeharto.
***
PERTUMBUHAN komoditas kelapa sawit bukan hanya dalam ekspansi areal perkebunannya, tetapi juga produk minyak yang dihasilkannya. Dalam dua dekade terakhir ini subsektor kelapa sawit adalah yag tercepat pertumbuhannya, di mana produk minyak sawit mentah (CPO/ crude palm oil) meningkat dari 2,7 juta ton pada tahun 1991 menjadi 5,9 juta ton di tahun 1999. Pada tahun 2000 ini diperkirakan produk CPO Indonesia mencapai 6,5 juta ton.
Pada tahun-tahun mendatang, diprediksi produksi akan terus meningkat seiring dengan tingkat kematangan pohon kelapa sawit di perkebunan-perkebunan besar. Dari jumlah produksi itu, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara pengekspor CPO dunia.
Urutan pertama diduduki oleh Malaysia, yang memasok 50,3 persen kebutuhan dunia atau sekitar 8.850.000 ton. Sementara ekspor Indonesia mencapai 30,5 persen dari kebutuhan dunia atau sekitar 5.360.000 ton. Sisanya, sekitar 19,2 persen atau 3.377.000 ton dipasok oleh negara-negara lain, seperti Thailand, dan beberapa negara Afrika.
Para analis dunia memperkirakan dengan terbukanya peluang untuk melakukan ekstensifikasi, dengan perencanaan yang matang, manajemen yang baik, sungguh-sungguh dan konsisten, maka tahun 2010 bukan tidak mungkin Indonesia mengambil alih posisi Malaysia sebagai negara penghasil CPO terbesar.
Apalagi, selain lahan, Indo-nesia memiliki keunggulan komparatif berupa melimpahnya tenaga kerja. Budidaya kelapa sawit sangatlah padat karya. Meski memiliki keunggulan teknologi, untuk melakukan ekspansi lebih lanjut Malaysia terhadang faktor ketersediaan lahan dan tenaga kerja.
Namun, sejak dua tahun terakhir, Malaysia telah mencanangkan kelapa sawit sebagai komoditi ekonomi unggulannya. Untuk mewujudkan tekad itu, sebagian areal perkebunan karetnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Investasi besar-besaran dilakukan untuk memperluas skala usaha perkebunan kelapa sawitnya. Bahkan dicanangkan, bila perlu dengan melakukan ekspansi ke Indonesia, seperti dilaporkan oleh SCB Research Institute Thailand dalam analisis Economic Situation, Mei 2000.
Jalan ekspansi itu kini terbuka, tidak hanya untuk perkebunan kelapa sawit, tapi juga untuk pengembangan industri turunannya seperti oil & fat. Bambang Warih mencermati arah dari kebijakan melakukan ekspansi itu adalah untuk mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia.
Dengan membeli eks milik perkebunan Grup Salim, Guthrie telah melampaui hambatan penguasaan lahan lebih dari 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebab berdasarkan Keputusan Presiden No 107/Kpts-11/1999 tertanggal 3 Maret 1999, ditetapkan seluruh HGU (Hak Guna Usaha) baru tidak boleh lebih dari 20.000 hektar di satu propinsi, dan 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini menjadi hambatan bagi investor baru yang mencari konsesi baru yang sangat luas bagi perkebunan.
Bambang menjelaskan, untuk dapat menguasai aset-aset strategis, modus operandi yang dilakukan adalah dengan membentuk investor connection (jaringan investor. Jaringan itu diberi peran untuk menawar dan melakukan pembelian atas aset-aset seperti Holdiko Perkasa, Kiani Wirudha, Tunas Sepadan, Bentala Kartika Abadi, Cakrawala Gita, dengan sistem paket dengan harapan agar dapat harga murah.
"BPPN sendiri sedang dalam keadaan yang kondusif untuk menerima system deal seperti itu. Setelah seluruh aset secara paket pindah tangan kepada investor connection, maka muncul lah natural interest (kepentingan aslinya -Red) serta pembeli yang sebenarnya," kata Bambang Warih, yang mantan anggota DPR.
Pada akhirnya, lanjut Bambang, seluruh aset akan dijual kembali kepada publik, kecuali aset bisnis yang memiliki kaitan dengan bisnis kelapa sawit, sebab akan disertakan dalam kebijakan manajemen politik pemerintah Malaysia.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan membuat peta pasokan CPO akan bergeser, Malaysia akan menguasai 89 persen kebijakan CPO dunia. Meski, secara realitas di masa datang Indonesia akan menjadi pemasok terbesar CPO dunia, yaitu sekitar 50 persen.
Kekhawatiran yang dilontarkan Bambang tidak hanya itu, tapi juga pada dampak ikutannya. Yaitu, dalam jangka panjang konsentrasi industri hilir dari perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya bisa mencapai 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. "Dan posisi Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Kalaupun ada nilai tambah sifatnya hanya komplemen terhadap kebijakan negara Malaysia," ungkapnya.
Oleh karena itu, melalui suratnya kepada Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri tertanggal 2 Oktober 2000, jauh sebelum BPPN mengumumkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim, Bambang Warih mengusulkan, segera dilakukan langkah pencegahan.
"Bila BPPN tidak mendapat mitra swasta yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam membeli aset BPPN itu, sebaiknya konsorsium BUMN yang sehat dapat sementara memiliki aset tersebut. Dengan demikian kita masih dapat bernafas dan berharap mendapat peluang melindungi kepentingan rakyat Indonesia di masa depan, dan masih memberikan waktu luang untuk mencarikan jalan keluarnya," saran Bambang Warih Koesoema. Komoditi kelapa sawit beserta produk turunannya adalah satu di antara sedikit komoditi yang tangguh, yang dapat bertahan selama negeri ini mengalami krisis. Bahkan, dari industri minyak sawit ini Indonesia memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai dollar AS, sementara industri lainnya "bergelimpangan".
Selama Indonesia mengalami krisis, industri minyak sawit adalah satu di antara sedikit industri yang dapat bertahan, bahkan memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai tukar dollar AS. "Dalam krisis ekonomi, yang masih tahan dan menjadi sumber kita adalah perkebunan, terutama untuk ekspor. Dan kelapa sawit dengan industri turunannya sangat berperan dan menjadi sangat penting untuk perolehan devisa," kata Dirjen Perkebunan.
Perkebunan eks milik Grup Salim termasuk yang terbaik, dan menjadi salah satu kunci dari industri minyak sawit Indonesia. Selain arealnya yang bagus, juga karena memiliki industri vertikal yang terintegrasi. Yaitu, mulai dari penanaman, pemanenan, pengolahan dari FFB menjadi CPO dan PKO (palm kernel oil). "Itu adalah barang jadi. Dikelola siapa pun akan jalan, karena memang barang bagus," ujar Pakpahan.
Persoalannya, "barang" bagus itu kini telah beralih menjadi milik asing, dan mungkin "barang" bagus-"barang" bagus lainnya akan menyusul "lepas" dari genggaman. Kini tinggal bagaimana kemampuan pemerintah melakukan antisipasi kebijakan agar kontrol terhadap terlaksananya fungsi sosial tanah yang dikuasai perkebunan dapat tetap difungsikan. Sehingga perkebunan tetap dapat menjadi instrumen bagi kebijakan-kebijakan strategis, terutama, yang terkait dengan masalah non pasar, seperti kebijakan harga yang bersifat pemerataan, dan sebagainya.
Di balik itu, ada persoalan besar yang juga harus segera dijawab, kemana pembangunan pertanian kita akan dibawa?. Sudahkah ada strategi besar yang menjadi landasan bagi setiap kebijakan dan langkah dibuat. Kalau tidak ada, cukup kita bertanya," Quo vadis perkebunan?". (Elly Roosita)
Perkebunan Kelapa Sawit Grup Salim yang Dijual
Nama perusahaan
- PT Aneka Intipersada ( Riau )
- PT Bahari Gembira Ria
- PT Bersama Sejahtera Sakti
- PT Bhumireksa Nusasejati
- PT Bina Sains Corporation
- PT Cibaliung Tunggal Plantation
- PT Gunung Mas Raya
- PT Indrotuba Tengah
- PT Indriplant
- PT Kridatama Lancar
- PT Ladangrumpun Suburabadi
- PT Laguna Mandiri
- PT Lahan Tani Sakti
- PT Langgeng Muaramakmur
- PT Paripurna Swakarsa
- PT Perkasa Subur Sakti *)
- PT PPP & PT Sri Kuala
- PT Sajang Heulang
- PT Salim Ivomas Pratama
- PT Serikat Putera
- PT Swadaya Andika
- PT Tamaco Graha Krida
- PT Teguh Sampurna
- PT Tunggal Mitra Plantation**)
Luas (Ha)
- 8.97119.
- 64811.
- 55917.
- 4026.
- 0224.
- 8169
- .3176.
- 6055.
- 1057.
- 59844.
- 96712.
- 5791.
- 96411.
- 39412.
- 129-7.
- 9695.
- 29121
- .65611.
- 9117.
- 97710.
- 4616
- .94710.
- 365
-------------
Total 262.653 Ha
Catatan:*)
hanya pabrik pengolahan CPO**)
20% sahamnya dimiliki Inkopad dan 20% milik Inkop Purnawirawan ABRI
Sumber: PT Holdiko Perkasa
Kompas 04 Des 2000
Labels: Palm Oil, Salim Group
Penjualan Kebun Kelapa Sawit Salim Ciptakan Monopoli Internasional
Keputusan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menjual perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim kepada perusahaan Malaysia, Kumpulan Ghutrie Berhad, memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional terhadap Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga mengabaikan kepentingan nasional jangka panjang dan peran masyarakat terhadap keberadaan perkebunan tersebut.Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan secara terpisah oleh Direktur Jenderal Perkebunan Agus Pakpahan dan Presidium Uni Sosial Demokrat Bambang Warih Koesoema di Jakarta, Rabu (29/11). Senin lalu, BPPN telah menunjuk Guthrie sebagai pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim, seharga 350 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,3 trilyun.
Padahal, menurut Pakpahan, untuk membangun perkebunan itu melibatkan dana masyarakat. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah melalui program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang mendorong munculnya perkebunan-perkebunan besar yang memiliki daya saing di pasar internasional.
Untuk menjalankan kebijakan itu, pemerintah memberi berbagai fasilitas terhadap pengusaha yang masuk ke sektor perkebunan, termasuk kepada Grup Salim. Fasilitas itu antara lain dengan memberi kredit murah dengan bunga 10 persen, jauh di bawah bunga yang berlaku saat itu.
"Jadi ada unsur subsidi, sehingga ada uang masyarakat yang masuk dalam pengembangan perkebunan itu. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan itu memiliki fungsi publik. Kalau dimiliki PMA (penanaman modal asing), bagaimana pemerintah dapat mengontrol fungsi-fungsi publik yang melekat dalam proses berkembangnya perusahaan tersebut," kata Pakpahan.
Manuver
Sementara dari data yang ada, Bambang Warih mencermati adanya manuver bisnis politik untuk mengambil alih aset-aset perusahaan yang terkait dalam usaha kelapa sawit termasuk industri turunan pertamanya, yang menjadi "pasien" BPPN. "Arah dari manuver itu adalah mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia," tutur mantan anggota DPR ini.
Dari data yang ada, pada tahun 1998 Indonesia adalah pemasok 30,5 persen minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) dunia, sementara Malaysia 50,3 persen, dan sebanyak 19,2 persen lainnya dipasok dari negara-negara lain. "Dengan penjualan aset kelapa sawit Indonesia ke Malaysia, maka dalam jangka panjang peta pasokan CPO dunia sekitar 89 persen berada dalam satu kebijakan monopoli negara Malaysia," kata Warih.
Dampak lain yang sangat merisaukan adalah industri hilir yang diperkirakan sekitar 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. Indonesia di masa datang hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Padahal, untuk membuka perkebunan sawit, yaitu mengonversinya dari hutan tropis menjadi perkebunan, dibutuhkan waktu yang sangat lama dengan pengorbanan materi yang besar.
"Ironis, keputusan BPPN justru memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional, dalam hal ini Malaysia, terhadap Indonesia. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang antimonopoli. Oleh karena itu, harus diambil langkah untuk mencegah atau membatalkan proses penjualan aset perkebunan kelapa sawit oleh BPPN ke Malaysia," ujar Warih.
Dikatakan, jauh sebelum keputusan BPPN untuk menetapkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim diumumkan, Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengingatkan masalah ini. "Harapan kami manuver bisnis politik itu dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet, tetapi rupanya tidak ada reaksi positif dari pemerintah," ungkap Bambang Warih.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Pakpahan. Dikatakan, bila perkebunan kepala sawit yang besar dan baik pada akhirnya beralih kepada pihak asing, maka akan sulit bagi pemerintah untuk mengontrolnya. "Terutama yang berkaitan dengan masalah non market, seperti pricing policy (kebijakan harga-Red) yang sifatnya untuk pemerataan," ujar Dirjen Perkebunan.
Lahan yang digunakan oleh perkebunan eks milik Salim seluas 280.000 hektar adalah lahan dengan status hak guna usaha (HGU) 35 tahun. Luas seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 2 juta hektar. Saat ini masih ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang akan dijual oleh BPPN.
"Untuk yang swasta kami tidak tahu, tapi untuk yang terkait dengan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ada tim bersama antara BPPN dan Ditjen Perkebunan, dan total utang pokok yang ditangani sekitar Rp 3,8 trilyun," tambah Pakpahan
Padahal, menurut Pakpahan, untuk membangun perkebunan itu melibatkan dana masyarakat. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah melalui program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang mendorong munculnya perkebunan-perkebunan besar yang memiliki daya saing di pasar internasional.
Untuk menjalankan kebijakan itu, pemerintah memberi berbagai fasilitas terhadap pengusaha yang masuk ke sektor perkebunan, termasuk kepada Grup Salim. Fasilitas itu antara lain dengan memberi kredit murah dengan bunga 10 persen, jauh di bawah bunga yang berlaku saat itu.
"Jadi ada unsur subsidi, sehingga ada uang masyarakat yang masuk dalam pengembangan perkebunan itu. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan itu memiliki fungsi publik. Kalau dimiliki PMA (penanaman modal asing), bagaimana pemerintah dapat mengontrol fungsi-fungsi publik yang melekat dalam proses berkembangnya perusahaan tersebut," kata Pakpahan.
Manuver
Sementara dari data yang ada, Bambang Warih mencermati adanya manuver bisnis politik untuk mengambil alih aset-aset perusahaan yang terkait dalam usaha kelapa sawit termasuk industri turunan pertamanya, yang menjadi "pasien" BPPN. "Arah dari manuver itu adalah mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia," tutur mantan anggota DPR ini.
Dari data yang ada, pada tahun 1998 Indonesia adalah pemasok 30,5 persen minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) dunia, sementara Malaysia 50,3 persen, dan sebanyak 19,2 persen lainnya dipasok dari negara-negara lain. "Dengan penjualan aset kelapa sawit Indonesia ke Malaysia, maka dalam jangka panjang peta pasokan CPO dunia sekitar 89 persen berada dalam satu kebijakan monopoli negara Malaysia," kata Warih.
Dampak lain yang sangat merisaukan adalah industri hilir yang diperkirakan sekitar 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. Indonesia di masa datang hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Padahal, untuk membuka perkebunan sawit, yaitu mengonversinya dari hutan tropis menjadi perkebunan, dibutuhkan waktu yang sangat lama dengan pengorbanan materi yang besar.
"Ironis, keputusan BPPN justru memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional, dalam hal ini Malaysia, terhadap Indonesia. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang antimonopoli. Oleh karena itu, harus diambil langkah untuk mencegah atau membatalkan proses penjualan aset perkebunan kelapa sawit oleh BPPN ke Malaysia," ujar Warih.
Dikatakan, jauh sebelum keputusan BPPN untuk menetapkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim diumumkan, Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengingatkan masalah ini. "Harapan kami manuver bisnis politik itu dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet, tetapi rupanya tidak ada reaksi positif dari pemerintah," ungkap Bambang Warih.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Pakpahan. Dikatakan, bila perkebunan kepala sawit yang besar dan baik pada akhirnya beralih kepada pihak asing, maka akan sulit bagi pemerintah untuk mengontrolnya. "Terutama yang berkaitan dengan masalah non market, seperti pricing policy (kebijakan harga-Red) yang sifatnya untuk pemerataan," ujar Dirjen Perkebunan.
Lahan yang digunakan oleh perkebunan eks milik Salim seluas 280.000 hektar adalah lahan dengan status hak guna usaha (HGU) 35 tahun. Luas seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 2 juta hektar. Saat ini masih ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang akan dijual oleh BPPN.
"Untuk yang swasta kami tidak tahu, tapi untuk yang terkait dengan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ada tim bersama antara BPPN dan Ditjen Perkebunan, dan total utang pokok yang ditangani sekitar Rp 3,8 trilyun," tambah Pakpahan
Kompas, 30 November 2000
Labels: Palm Oil
Penjualan Kebun Kelapa Sawit Salim Ciptakan Monopoli Internasional
Keputusan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menjual perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim kepada perusahaan Malaysia, Kumpulan Ghutrie Berhad, memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional terhadap Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga mengabaikan kepentingan nasional jangka panjang dan peran masyarakat terhadap keberadaan perkebunan tersebut.Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan secara terpisah oleh Direktur Jenderal Perkebunan Agus Pakpahan dan Presidium Uni Sosial Demokrat Bambang Warih Koesoema di Jakarta, Rabu (29/11). Senin lalu, BPPN telah menunjuk Guthrie sebagai pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim, seharga 350 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,3 trilyun.
Padahal, menurut Pakpahan, untuk membangun perkebunan itu melibatkan dana masyarakat. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah melalui program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang mendorong munculnya perkebunan-perkebunan besar yang memiliki daya saing di pasar internasional.
Untuk menjalankan kebijakan itu, pemerintah memberi berbagai fasilitas terhadap pengusaha yang masuk ke sektor perkebunan, termasuk kepada Grup Salim. Fasilitas itu antara lain dengan memberi kredit murah dengan bunga 10 persen, jauh di bawah bunga yang berlaku saat itu.
"Jadi ada unsur subsidi, sehingga ada uang masyarakat yang masuk dalam pengembangan perkebunan itu. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan itu memiliki fungsi publik. Kalau dimiliki PMA (penanaman modal asing), bagaimana pemerintah dapat mengontrol fungsi-fungsi publik yang melekat dalam proses berkembangnya perusahaan tersebut," kata Pakpahan.
Manuver
Sementara dari data yang ada, Bambang Warih mencermati adanya manuver bisnis politik untuk mengambil alih aset-aset perusahaan yang terkait dalam usaha kelapa sawit termasuk industri turunan pertamanya, yang menjadi "pasien" BPPN. "Arah dari manuver itu adalah mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia," tutur mantan anggota DPR ini.
Dari data yang ada, pada tahun 1998 Indonesia adalah pemasok 30,5 persen minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) dunia, sementara Malaysia 50,3 persen, dan sebanyak 19,2 persen lainnya dipasok dari negara-negara lain. "Dengan penjualan aset kelapa sawit Indonesia ke Malaysia, maka dalam jangka panjang peta pasokan CPO dunia sekitar 89 persen berada dalam satu kebijakan monopoli negara Malaysia," kata Warih.
Dampak lain yang sangat merisaukan adalah industri hilir yang diperkirakan sekitar 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. Indonesia di masa datang hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Padahal, untuk membuka perkebunan sawit, yaitu mengonversinya dari hutan tropis menjadi perkebunan, dibutuhkan waktu yang sangat lama dengan pengorbanan materi yang besar.
"Ironis, keputusan BPPN justru memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional, dalam hal ini Malaysia, terhadap Indonesia. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang antimonopoli. Oleh karena itu, harus diambil langkah untuk mencegah atau membatalkan proses penjualan aset perkebunan kelapa sawit oleh BPPN ke Malaysia," ujar Warih.
Dikatakan, jauh sebelum keputusan BPPN untuk menetapkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim diumumkan, Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengingatkan masalah ini. "Harapan kami manuver bisnis politik itu dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet, tetapi rupanya tidak ada reaksi positif dari pemerintah," ungkap Bambang Warih.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Pakpahan. Dikatakan, bila perkebunan kepala sawit yang besar dan baik pada akhirnya beralih kepada pihak asing, maka akan sulit bagi pemerintah untuk mengontrolnya. "Terutama yang berkaitan dengan masalah non market, seperti pricing policy (kebijakan harga-Red) yang sifatnya untuk pemerataan," ujar Dirjen Perkebunan.
Lahan yang digunakan oleh perkebunan eks milik Salim seluas 280.000 hektar adalah lahan dengan status hak guna usaha (HGU) 35 tahun. Luas seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 2 juta hektar. Saat ini masih ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang akan dijual oleh BPPN.
"Untuk yang swasta kami tidak tahu, tapi untuk yang terkait dengan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ada tim bersama antara BPPN dan Ditjen Perkebunan, dan total utang pokok yang ditangani sekitar Rp 3,8 trilyun," tambah Pakpahan
Padahal, menurut Pakpahan, untuk membangun perkebunan itu melibatkan dana masyarakat. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah melalui program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang mendorong munculnya perkebunan-perkebunan besar yang memiliki daya saing di pasar internasional.
Untuk menjalankan kebijakan itu, pemerintah memberi berbagai fasilitas terhadap pengusaha yang masuk ke sektor perkebunan, termasuk kepada Grup Salim. Fasilitas itu antara lain dengan memberi kredit murah dengan bunga 10 persen, jauh di bawah bunga yang berlaku saat itu.
"Jadi ada unsur subsidi, sehingga ada uang masyarakat yang masuk dalam pengembangan perkebunan itu. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan itu memiliki fungsi publik. Kalau dimiliki PMA (penanaman modal asing), bagaimana pemerintah dapat mengontrol fungsi-fungsi publik yang melekat dalam proses berkembangnya perusahaan tersebut," kata Pakpahan.
Manuver
Sementara dari data yang ada, Bambang Warih mencermati adanya manuver bisnis politik untuk mengambil alih aset-aset perusahaan yang terkait dalam usaha kelapa sawit termasuk industri turunan pertamanya, yang menjadi "pasien" BPPN. "Arah dari manuver itu adalah mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia," tutur mantan anggota DPR ini.
Dari data yang ada, pada tahun 1998 Indonesia adalah pemasok 30,5 persen minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) dunia, sementara Malaysia 50,3 persen, dan sebanyak 19,2 persen lainnya dipasok dari negara-negara lain. "Dengan penjualan aset kelapa sawit Indonesia ke Malaysia, maka dalam jangka panjang peta pasokan CPO dunia sekitar 89 persen berada dalam satu kebijakan monopoli negara Malaysia," kata Warih.
Dampak lain yang sangat merisaukan adalah industri hilir yang diperkirakan sekitar 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. Indonesia di masa datang hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Padahal, untuk membuka perkebunan sawit, yaitu mengonversinya dari hutan tropis menjadi perkebunan, dibutuhkan waktu yang sangat lama dengan pengorbanan materi yang besar.
"Ironis, keputusan BPPN justru memberi kontribusi terjadinya monopoli internasional, dalam hal ini Malaysia, terhadap Indonesia. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang antimonopoli. Oleh karena itu, harus diambil langkah untuk mencegah atau membatalkan proses penjualan aset perkebunan kelapa sawit oleh BPPN ke Malaysia," ujar Warih.
Dikatakan, jauh sebelum keputusan BPPN untuk menetapkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim diumumkan, Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengingatkan masalah ini. "Harapan kami manuver bisnis politik itu dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet, tetapi rupanya tidak ada reaksi positif dari pemerintah," ungkap Bambang Warih.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Pakpahan. Dikatakan, bila perkebunan kepala sawit yang besar dan baik pada akhirnya beralih kepada pihak asing, maka akan sulit bagi pemerintah untuk mengontrolnya. "Terutama yang berkaitan dengan masalah non market, seperti pricing policy (kebijakan harga-Red) yang sifatnya untuk pemerataan," ujar Dirjen Perkebunan.
Lahan yang digunakan oleh perkebunan eks milik Salim seluas 280.000 hektar adalah lahan dengan status hak guna usaha (HGU) 35 tahun. Luas seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 2 juta hektar. Saat ini masih ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang akan dijual oleh BPPN.
"Untuk yang swasta kami tidak tahu, tapi untuk yang terkait dengan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ada tim bersama antara BPPN dan Ditjen Perkebunan, dan total utang pokok yang ditangani sekitar Rp 3,8 trilyun," tambah Pakpahan
Labels: Palm Oil Business
Perusahaan Malaysia Investasi di Perkebunan
Menurut Ketua Bidang Agro-Industri, Kehutanan dan Perkebunan Kadin Kabupaten Nunukan (Kaltim), Drs Abubakar Siddik di Samarinda, Rabu (8/11), perusahaan Beta Omega direncanakan akan membuka areal perkebunan seluas 150.000 hektare yang dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 15.000 orang.
"Dengan pembukaan lahan di Nunukan itu, diharapkan dapat mencegah pengerahan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal ke Malaysia," katanya.
Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten di wilayah utara Provinsi Kaltim yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah di Malaysia Timur.
Dikemukakan, keinginan perusahaan Malaysia untuk menanamkan modalnya di Nunukan itu seharusnya direspon positif oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, bukan malahan sebaliknya menghambat.
Abubakar menjelaskan bahwa keinginan pengusaha Malaysia itu hingga saat ini masih trhambat akibat belum keluarnya surat rekomendasi dari Pemprov Kaltim, padahal pemerintah pusat telah menyetujui, demikian juga Bupati Nunukan, Drs Gustaman Arham, telah mengeluarkan rekomendasi kepada perusahaan Beta Omeg itu.
Menurutnya, sebelum membuka lahan perkebunan kelapa sawit, perusahaan Beta Omega itu akan lebih dulu membangun infrastruktur di daerah itu dengan biaya sebesar Rp 6 milyar, yaitu membangun jalan dan pelabuhan untuk menunjang pengiriman kelapa sawit ke luar Kaltim.
Simanggaris, menurutnya, sangat cocok untuk dikembangkan menjadi daerah perkebunan kelapa sawit, karena berbatasan langsung dengan Malaysia.
Dikemukakan bahwa selama ini para investor dari luar Kaltim, termasuk dari luar negeri, lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang kehutanan, dan jarang yang tertarik untuk membuka lahan perkebunan.
"Seharusnya keinginan pengusaha Malaysia untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan di Nunukan itu disambut baik oleh Pemprov Kaltim, karena akan mempercepat perkembangan pembangunan di wilayah utara Kaltim yang selama ini tertinggal dibanding daerah lain," kata Abubakar.
Menurutnya, selain Beta Omega, ada beberapa perusahaan lain dari Malaysia yang ingin menanamkan modalnya di Nunukan, misalnya perusahaan Andika Karya, yang juga tertarik di bidang perkebunan kelapa sawit, dan direncanakan akan membuka lahan seluas 20 ribu Ha.
"Termasuk sebuah perusahaan dari Kinabalu, Sabah, yang ingin menanamkan modalnya di bidang pariwisata dan perhotelan," kata Abubakar. (Ant/edj)
"Dengan pembukaan lahan di Nunukan itu, diharapkan dapat mencegah pengerahan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal ke Malaysia," katanya.
Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten di wilayah utara Provinsi Kaltim yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah di Malaysia Timur.
Dikemukakan, keinginan perusahaan Malaysia untuk menanamkan modalnya di Nunukan itu seharusnya direspon positif oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, bukan malahan sebaliknya menghambat.
Abubakar menjelaskan bahwa keinginan pengusaha Malaysia itu hingga saat ini masih trhambat akibat belum keluarnya surat rekomendasi dari Pemprov Kaltim, padahal pemerintah pusat telah menyetujui, demikian juga Bupati Nunukan, Drs Gustaman Arham, telah mengeluarkan rekomendasi kepada perusahaan Beta Omeg itu.
Menurutnya, sebelum membuka lahan perkebunan kelapa sawit, perusahaan Beta Omega itu akan lebih dulu membangun infrastruktur di daerah itu dengan biaya sebesar Rp 6 milyar, yaitu membangun jalan dan pelabuhan untuk menunjang pengiriman kelapa sawit ke luar Kaltim.
Simanggaris, menurutnya, sangat cocok untuk dikembangkan menjadi daerah perkebunan kelapa sawit, karena berbatasan langsung dengan Malaysia.
Dikemukakan bahwa selama ini para investor dari luar Kaltim, termasuk dari luar negeri, lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang kehutanan, dan jarang yang tertarik untuk membuka lahan perkebunan.
"Seharusnya keinginan pengusaha Malaysia untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan di Nunukan itu disambut baik oleh Pemprov Kaltim, karena akan mempercepat perkembangan pembangunan di wilayah utara Kaltim yang selama ini tertinggal dibanding daerah lain," kata Abubakar.
Menurutnya, selain Beta Omega, ada beberapa perusahaan lain dari Malaysia yang ingin menanamkan modalnya di Nunukan, misalnya perusahaan Andika Karya, yang juga tertarik di bidang perkebunan kelapa sawit, dan direncanakan akan membuka lahan seluas 20 ribu Ha.
"Termasuk sebuah perusahaan dari Kinabalu, Sabah, yang ingin menanamkan modalnya di bidang pariwisata dan perhotelan," kata Abubakar. (Ant/edj)
Kompas, 08 Nov 2000
Labels: Palm Oil
Procter & Gamble Beli Oleochemical Indonesia US$1,8 Miliar
Kamis, 03 Januari 2008
Kapanlagi.com - Procter&Gamble (P&G) Chemicals akan membeli oleochemical dari Indonesia senilai US$1,8 miliar yang digunakan sebagai bahan baku bisnis barang konsumsi. "Procter & Gamble telah menandatangani kontrak kerjasama dengan Domba Mas Group untuk pembelian seluruh hasil produksi pabrik Olechemical," kata Direktur Pelaksana P&G Chemical Asia, Martin Herrington di Jakarta, Jumat (27/5).
Domba Mas Group adalah produsen utama minyak kelapa sawit dan minyak kernel yang sedang membangun pabrik oleochemical berskala dunia di Kuala Tanjung, Sumatera Utara yang mulai produksi paruh kedua 2005.
Menurut dia, P&G membeli 200.000 ton oleochemical per tahun dengan kontrak selama 10 tahun terdiri dari 160.000 ton fatty alkohol produksi PT Sawitmas Agro Perkasa ditambah fatty acid dan gliserin dan 40.000 ton lagi dari PT Domas Agrointi Prima.
Karena itu komitmen jangka panjang dilaksanakan untuk memperoleh oleochemical dari Indonesia dengan memperpanjang perjanjian pembelian fatty acid (asam lemak) dan fatty alcohol (asam lemak alkohol ) dari Domba Mas Group, katanya.
Martin Herrington mengatakan, Oleochemicals adalah bahan baku yang penting bagi bisnis barang konsumsi P&G dan ini akan menjadi bagian integrasi dari jaringan suplai global perusahaan.
"Kami telah memilih untuk bekerjasama dengan Domba Mas Group karena mereka telah memiliki teknologi kelas dunia dan mengembangkan lokasi yang tepat untuk membangun pabrik yang akan berskala dunia," katanya.
Produksi awal pabrik ini akan membuat Indonesia sebagai produser fatty alcohol natural terbesar di dunia, tegasnya.
Ditanya mengenai alasan kerjasama ini, Martin Herrington mengatakan, integrasi dengan perusahaan perkebunan ini menjamin pasokan bahan baku utama. Pabrik ini berskala dunia dengan logistik yang dirancang secara matang.
"Kami juga akan melanjutkan investasi di bidang pelatihan dan pengembangan, sehingga karyawan Domba Mas memiliki kapabilitas yang tinggi melalui pelatihan luar maupun dalam negeri," kata Presiden Direktur PT Procter & Gamble Home Products Indonesia, Raul T. Falcon.
P&G memiliki satu dari portofolio merek berkualitas seperti Pampers, Tide, Ariel, Alwasy, Whisper, Pantene, Bounty, Pringles, Folger, Charmin, Downy, Lenor, Lams Crest, Actonel dan mempunyai 98.000 pegawai yang bekerja hampir di 80 negara, kata Martin (*/dar)
Domba Mas Group adalah produsen utama minyak kelapa sawit dan minyak kernel yang sedang membangun pabrik oleochemical berskala dunia di Kuala Tanjung, Sumatera Utara yang mulai produksi paruh kedua 2005.
Menurut dia, P&G membeli 200.000 ton oleochemical per tahun dengan kontrak selama 10 tahun terdiri dari 160.000 ton fatty alkohol produksi PT Sawitmas Agro Perkasa ditambah fatty acid dan gliserin dan 40.000 ton lagi dari PT Domas Agrointi Prima.
Karena itu komitmen jangka panjang dilaksanakan untuk memperoleh oleochemical dari Indonesia dengan memperpanjang perjanjian pembelian fatty acid (asam lemak) dan fatty alcohol (asam lemak alkohol ) dari Domba Mas Group, katanya.
Martin Herrington mengatakan, Oleochemicals adalah bahan baku yang penting bagi bisnis barang konsumsi P&G dan ini akan menjadi bagian integrasi dari jaringan suplai global perusahaan.
"Kami telah memilih untuk bekerjasama dengan Domba Mas Group karena mereka telah memiliki teknologi kelas dunia dan mengembangkan lokasi yang tepat untuk membangun pabrik yang akan berskala dunia," katanya.
Produksi awal pabrik ini akan membuat Indonesia sebagai produser fatty alcohol natural terbesar di dunia, tegasnya.
Ditanya mengenai alasan kerjasama ini, Martin Herrington mengatakan, integrasi dengan perusahaan perkebunan ini menjamin pasokan bahan baku utama. Pabrik ini berskala dunia dengan logistik yang dirancang secara matang.
"Kami juga akan melanjutkan investasi di bidang pelatihan dan pengembangan, sehingga karyawan Domba Mas memiliki kapabilitas yang tinggi melalui pelatihan luar maupun dalam negeri," kata Presiden Direktur PT Procter & Gamble Home Products Indonesia, Raul T. Falcon.
P&G memiliki satu dari portofolio merek berkualitas seperti Pampers, Tide, Ariel, Alwasy, Whisper, Pantene, Bounty, Pringles, Folger, Charmin, Downy, Lenor, Lams Crest, Actonel dan mempunyai 98.000 pegawai yang bekerja hampir di 80 negara, kata Martin (*/dar)
Labels: Procter and Gamble
Ecogreen Oleochemicals Profile
Project sponsor and major shareholders of project company
The company is owned through a holding company structure whose shareholders are: - Messrs. Eddy William Katuari and Fifi Sutanto (representing the Wings group) 47.7%; - Mr. Jimmy Masrin and PT Lautan Luas Tbk (representing the Lautan Luas group) 33.3% and - Mr. Robert Budi Hartono (representing the Djarum group) 19%. The main sponsor of the company is the Wings group, which is one of Indonesia’s largest producer and marketer of soaps and detergents. The Wings Group has seven main business activities – - consumer products; - packaging; - chemicals; - building materials; - real estate; - agribusiness and - financial services. Of these, the consumer products business is the largest in annual turnover. IFC has existing relationships with three of the Wings group companies (PT Sayap, PT Wings and PT Gawi). The other two members of the consortium are the Djarum group, one of the largest Indonesian cigarette manufacturers, and the Lautan Luas group which is Indonesia’s leading distributor and manufacturer of basic and specialty chemicals.
Total project cost and proposed IFC investment
The total project cost is estimated to be about $84.0 million. IFC’s investment would consist of an A Loan of up to $30 million.
Location of project and description of site
The new fatty acid plant will be integrated with the company’s fatty alcohol plant at its existing site at Belawan, Medan in Indonesia. Adequate land is available at the plant site and the existing infrastructure can be expanded with marginal incremental investments to support the new project. The site is also located close to a jetty for easy access to movement of material.
Description of company and purpose of project
PT Ecogreen Oleochemicals (Ecogreen, the company), an Indonesia based company, is implementing a $84 million project involving establishing a new 60,000 tonnes per annum (tpa) capacity fatty acid production plant, incremental working capital and debt refinancing. The company is one of the leading global producers of natural fatty alcohols, its core product group, as well as co-products and intermediates such as fatty acids, methyl esters and glycerin. The company produces natural or vegetable oil based fatty alcohol, largely used for the production of detergents, shampoos, conditioners, skin applications and similar consumer products. They are also used as stabilizers in the production of plastics and lubricants. The company has 110,000 tpa natural fatty alcohol production capacity at two production plants located in Belawan, Medan (30,000 tpa) and Batam (80,000 tpa) in Indonesia. Ecogreen’s FY02 turnover was $86 million, of which about 95% was from exports to Asia-Pacific, North and South America and Europe. In addition to its production plants, the company has affiliated marketing and distribution companies which have long term lease finished goods storage facilities in Rotterdam, Germany; Houston,Texas; and Newark, New Jersey. The project is part of the company’s long-term strategy to improve its international competitiveness through better utilization of assets and strategic management of raw material inventory. About half of the new fatty acid capacity will be used to support an 8,000 tpa fatty alcohol capacity increase at Belawan, Medan plant through debottlenecking and to supply to an affiliate soap noodle production company. The surplus will be sold in the merchant market. The working capital and the debt refinancing are aimed at helping the company structure a flexible working capital facility with a core component to fund the permanent working capital and a stand-by facility to finance raw material purchases at low price points.
Environmental and social issues - Category
This is a Category B project according to IFC’s Procedure for Environmental and Social Review of Projects because a limited number of specific environmental and social impacts may result which can be avoided or mitigated by adhering to generally recognized performance standards, guidelines or design criteria. The review of this project consisted of appraising technical and environmental/social information submitted by the project sponsor. The following potential environment, health and safety and social impacts were analyzed. Environmental issues include: development of corporate environmental and health and safety management programs; raw material sourcing; air quality impacts (including odor) and abatement; waste water quality, temperature and treatment if necessary; energy efficiency in general; on-site solid waste management procedures; handling and storage of fuel, oils and hazardous materials; and workplace noise. Health and safety issues include: fire safety and emergency response; pressure vessel integrity; safety training, and housekeeping. Social issues in Ecogreen’s plants include community relations and community development activities. Further details are provided in the Environmental Review Summary separately available with this document.
Location of environmental documents in locally affected community
The environmental documentation will be made available at the following locations: PT.Ecogreen Oleochemicals Jalan Raya Pelabuhan IV, Gabion-Bagan Deli, Belawan 20414, Indonesia Phone. (62-61) 6941020, Fax. (62-61) 6941645 PT.Ecogreen Oleochemicals Jalan Pelabuhan Kav. 1, Kabil, Pulau Batam 29435, Indonesia Phone. (62-778) 711002, Fax. (62-778) 711007
To contact the project company, please write to:
Mr. Hardy Johan, Director PT.Ecogreen Oleochemicals Jalan Raya Pelabuhan IV, Gabion-Bagan Deli, Belawan 20414, Indonesia Phone. (62-61) 6941020, Fax. (62-61) 6941645 PT.Ecogreen Oleochemicals Jalan Pelabuhan Kav. 1, Kabil, Pulau Batam 29435, Indonesia Phone. (62-778) 711002, Fax. (62-778) 711007
Labels: Ecogreen Oleochemicals
Procter and Gamble Chemicals Announces Oleochemical Supply Agreement With Sawit Mas of Indonesia
Procter and Gamble today re-affirmed its commitment to long-term sourcing of oleochemicals from Indonesia by extending its agreement to purchase fatty acids and alcohols from the Domba Mas Group.
Procter and Gamble has signed contracts with the Domba Mas Group in excess of US$ 1.0 billion for the purchase of the output of the oleochemical site being built by the DOMBA MAS GROUP at Kuala Tanjung in Sumatera Utara over a ten-year period. The products will include over 200,000 tons/year of oleochemicals: 160,000 tons of fatty alcohols from two units - the first of capacity 40,000 tons built by PT Domas Agrointi Prima, the second of 120,000 tons to be built by PT Sawitmas Agro Perkasa - plus fatty acids and glycerine. The products will be used as raw materials in Procter and Gamble's Beauty and Fabric Care businesses around the world, and also marketed to the global chemical industry by Procter and Gamble Chemicals. The Kuala Tanjung site will employ up to 800 people adding value to the products of Domba Mas's palm-oil plantation business. The start-up of this site will make Indonesia the world's largest producer of natural fatty alcohol.
"We are highly committed to this project and to our Indonesian partners, the Domba Mas Group", said Ian Edwards, global Vice President, Procter & Gamble Chemicals. "Oleochemicals are important raw material for Procter and Gamble's consumer products businesses, and this will be an integral part of our global supply network". Martin Herrington, Managing Director, P and G Chemicals, Asia added: "We have chosen to work with the Domba Mas Group because they have selected world-class technology and developed a great location for what will be a world-scale plant. We are collaborating closely with them and provide strong technical and manufacturing support to ensure that the project will be a success, producing top-quality raw materials to meet the needs of our customers worldwide."
"PandG is committed to the long-term growth and development of our business in Indonesia. This is demonstrated by both our significant investments in new product introductions containing the latest world class technologies to meet the needs of the Indonesian consumer as well as developing business partnerships in the Indonesian economy. We also continue to invest in the training and development of our Indonesian employees as we hire additional employees to support our growth and to invest in their capability development, primarily through training, both overseas and locally" said Raul T. Falcon, The President Director of PT Procter and Gamble Home Products Indonesia.
About Procter and Gamble Chemicals P and G Chemicals, a business unit of the Procter and Gamble Company, is a global marketer of fatty alcohols, methyl esters, fatty acids, glycerine and tertiary amines. P and G Chemicals has sales offices in Cincinnati, Ohio, London, England, Mexico City, Mexico, Singapore and Kobe, Japan.
Two billion times a day, P&G brands touch the lives of people around the world. The company has one of the largest and strongest portfolios of trusted, quality brands, including Pampers®, Tide®, Ariel®, Always®, Whisper®, Pantene®, Bounty®, Pringles®, Folgers®, Charmin®, Downy®, Lenor®, Iams®, Crest®, Actonel®, Olay® and Clairol Nice 'n Easy®. The P&G community consists of nearly 98,000 employees working in almost 80 countries worldwide.
Procter and Gamble has signed contracts with the Domba Mas Group in excess of US$ 1.0 billion for the purchase of the output of the oleochemical site being built by the DOMBA MAS GROUP at Kuala Tanjung in Sumatera Utara over a ten-year period. The products will include over 200,000 tons/year of oleochemicals: 160,000 tons of fatty alcohols from two units - the first of capacity 40,000 tons built by PT Domas Agrointi Prima, the second of 120,000 tons to be built by PT Sawitmas Agro Perkasa - plus fatty acids and glycerine. The products will be used as raw materials in Procter and Gamble's Beauty and Fabric Care businesses around the world, and also marketed to the global chemical industry by Procter and Gamble Chemicals. The Kuala Tanjung site will employ up to 800 people adding value to the products of Domba Mas's palm-oil plantation business. The start-up of this site will make Indonesia the world's largest producer of natural fatty alcohol.
"We are highly committed to this project and to our Indonesian partners, the Domba Mas Group", said Ian Edwards, global Vice President, Procter & Gamble Chemicals. "Oleochemicals are important raw material for Procter and Gamble's consumer products businesses, and this will be an integral part of our global supply network". Martin Herrington, Managing Director, P and G Chemicals, Asia added: "We have chosen to work with the Domba Mas Group because they have selected world-class technology and developed a great location for what will be a world-scale plant. We are collaborating closely with them and provide strong technical and manufacturing support to ensure that the project will be a success, producing top-quality raw materials to meet the needs of our customers worldwide."
"PandG is committed to the long-term growth and development of our business in Indonesia. This is demonstrated by both our significant investments in new product introductions containing the latest world class technologies to meet the needs of the Indonesian consumer as well as developing business partnerships in the Indonesian economy. We also continue to invest in the training and development of our Indonesian employees as we hire additional employees to support our growth and to invest in their capability development, primarily through training, both overseas and locally" said Raul T. Falcon, The President Director of PT Procter and Gamble Home Products Indonesia.
About Procter and Gamble Chemicals P and G Chemicals, a business unit of the Procter and Gamble Company, is a global marketer of fatty alcohols, methyl esters, fatty acids, glycerine and tertiary amines. P and G Chemicals has sales offices in Cincinnati, Ohio, London, England, Mexico City, Mexico, Singapore and Kobe, Japan.
Two billion times a day, P&G brands touch the lives of people around the world. The company has one of the largest and strongest portfolios of trusted, quality brands, including Pampers®, Tide®, Ariel®, Always®, Whisper®, Pantene®, Bounty®, Pringles®, Folgers®, Charmin®, Downy®, Lenor®, Iams®, Crest®, Actonel®, Olay® and Clairol Nice 'n Easy®. The P&G community consists of nearly 98,000 employees working in almost 80 countries worldwide.
Please visit http://www.pginvestor.com/www.pg.com for the latest news and in-depth information about P andG and its brands.
Jakarta, 26, 2005
Labels: Domba Mas, Procter and Gamble
Oleochemical Industry Struck in a Rut
Rabu, 02 Januari 2008
05 May 2003 00:00 [Source: ACN]
Feedstock production might be high, but coconut oil supply is under threat from urbanisation and competing applications. In addition, the industry suffers from too small capacities and weak infrastructure, writes Malini Hariharan
Feedstock availability is becoming an issue for the oleochemical industry in the Philippines. Even though the country is one of the world's biggest producers of coconut oil, challenges need to be tackled to prevent short supply.
While the palm oil-based oleochemical industries in Malaysia and Indonesia have expanded their base successfully during the last decade, the coconut oil-based industry in the Philippines appears stuck in a rut.
Global majors are not queuing up to set up plants in the country and existing players have so far not revealed any ambitious expansion plans.
According to government estimates, the industry with nine manufacturers and 23 products has an annual production capacity of 328 621 tonne. The largest producer is United Coconut Chemicals, followed by Pilipinas Kao.
Total annual consumption of various oleochemicals such as fatty acids, fatty alcohols and glycerine is estimated at 32 000 tonne.
In fatty acids, the Philippines, with a capacity of 130 000 tonne/year, accounts for 2% of world production. It has a bigger share of 10% in natural fatty alcohols, with a capacity of 100 000 tonne/year.
Despite the Philippines being a major producer of coconut oil, the oleochemical industry finds itself constrained by unstable supply and volatile prices.
According to one estimate, total coconut-oil production in the Philippines in 2002-03 is forecast to decline by 2.4% from 1.35m tonne in 2001-02. A major reason for the decline is poor rainfall.
One oleochemical producer says that, while 2002 was a fairly good year for local producers due to low prices for coconut oil, the outlook for 2003 is not as good mainly because feedstock costs are projected to be higher on account of an imbalance in demand and supply.
Besides natural factors such as typhoons or droughts, urbanisation has also been responsible for a slowdown in coconut-oil production growth in recent years.
'The supply of coconut oil is going to be a matter of concern for all, including those outside the Philippines,' says the oleochemical producer.
There are also competing uses for coconut oil. One of the uses is for food, with the demand for this application increasing in the last few years.
In a recent report on the industry, the Board of Investments (BoI) acknowledged the need to formulate a new long-term tree-planting policy as planting and replanting programmes implemented during the last two decades have failed.
Copra quality-improvement programmes also have to be drawn up to ensure adequate supply of high-quality coconut oil for oleochemical production.
Meanwhile, some in the industry have been pressing the government to develop the palm-oil sector, so that this oil can be used for food, releasing precious coconut oil for oleochemical production.
Currently, over 50% of the country's palm-oil requirement is met through imports. Local demand is estimated to be growing at an annual rate of 15% while production of palm-kernel oil and palm oil rose by only 4.56% and 0.01% respectively during 1990-2000.
But even if the problems related to coconut supply are solved, it will still be an uphill task for local oleochemical players to compete successfully with Malaysian and Indonesian players in the global market.
Palm-oil production in Malaysia and Indonesia has increased steadily in the past few years. It is estimated that since the 1980s, Indonesia's palm-oil acreage has grown by 21%, while Malaysia's has expanded by 9%. During the same period, coconut acreage in the Philippines declined by 1.3%.
The Malaysian government has been successful in attracting investments in oleochemicals. For instance, nearly 300 000 tonne/year of capacity for fatty acids was commissioned in Malaysia last year. And many more additions are in the pipeline.
Total oleochemical capacity in the country rose to 1.8m tonne/year in 2002, a 47.5% increase from 2001. And companies such as Kao are expanding capacity in Malaysia rather than in the Philippines.
When compared with their counterparts in Malaysia, the Philippine producers' capacities are much smaller. And producers have to export their surpluses.
But, like all other industries in the Philippines, the oleochemical sector also faces infrastructure constraints and high energy costs.
Companies do not have adequate infrastructure support from the government in the form of storage tanks and bulk vessels needed to move large volumes of coconut oil. This has resulted in higher investment and operating costs.
While the BoI is attempting to attract investors by offering a wide range of incentives, its efforts have yet to yield tangible results.
The BoI now offers zero value-added tax on coconut oil sold to oleochemical-exporting companies. Fiscal and non-fiscal incentives are offered if Filipino-owned oleochemical companies export 50% of their output and foreign-owned companies export 70% of production. New projects with pioneer status are exempted from paying income tax for six years.
Incentives are also available to companies that undertake pioneering R&D work on downstream applications of oleochemical products.
A government source says so far, a few companies, including an Indonesian company, have shown interest but talks are still at an early stage.
Interestingly, the oleochemical sector is no longer on the BoI's top-10 investment priority list, which includes automobiles, processed food, electronics, marine products, construction material, organic food, furniture, and information and communication technology. These industries have been selected as they offer the maximum export potential.
Figures from the BoI indicate that oleochemical exports peaked at 154 000 tonne in 1987 due partly to rising consumer preference for natural oil-based products. But exports declined in the subsequent years except in 2000 and 2001, as lauric-oil prices rose at a time when prices of petrochemical-based substitutes were stable.
The government source says that, though the oleochemical industry is still important, it does not figure on the top-10 list partly because the government has recognised the difficulty of promoting this industry.
He admits that progress will be slow until reforms in the coconut industry take place.
As for long-term survival and growth, companies will also have to identify new markets, says the oleochemical producer. The BoI would like companies to diversify their exports to cover non-traditional markets such as Russia, China and India.
Currently, Japan, the US, South Korea and the Netherlands are the top four export destinations.
Beside the problems listed above, local companies also have to take into account a whole range of other issues, such as global overcapacity in some sectors, volatile product prices and competition from synthetic substitutes.
These problems go in hand in hand with the opportunities made available by a rising population, growing consumer preference for natural products and new applications for oleochemicals.
As the government source puts it: 'The industry has great potential, but the Philippine government has to make the right decisions and frame the correct policies.
'Until this happens, the prospects for the local industry are not so bright.'
When compared with their counterparts in Malaysia, the Philippine producers' capacities are much smaller. And producers have to export their surpluses.
But, like all other industries in the Philippines, the oleochemical sector also faces infrastructure constraints and high energy costs.
Companies do not have adequate infrastructure support from the government in the form of storage tanks and bulk vessels needed to move large volumes of coconut oil. This has resulted in higher investment and operating costs.
While the BoI is attempting to attract investors by offering a wide range of incentives, its efforts have yet to yield tangible results.
The BoI now offers zero value-added tax on coconut oil sold to oleochemical-exporting companies. Fiscal and non-fiscal incentives are offered if Filipino-owned oleochemical companies export 50% of their output and foreign-owned companies export 70% of production. New projects with pioneer status are exempted from paying income tax for six years.
Incentives are also available to companies that undertake pioneering R&D work on downstream applications of oleochemical products.
A government source says so far, a few companies, including an Indonesian company, have shown interest but talks are still at an early stage.
Interestingly, the oleochemical sector is no longer on the BoI's top-10 investment priority list, which includes automobiles, processed food, electronics, marine products, construction material, organic food, furniture, and information and communication technology. These industries have been selected as they offer the maximum export potential.
Figures from the BoI indicate that oleochemical exports peaked at 154 000 tonne in 1987 due partly to rising consumer preference for natural oil-based products. But exports declined in the subsequent years except in 2000 and 2001, as lauric-oil prices rose at a time when prices of petrochemical-based substitutes were stable.
The government source says that, though the oleochemical industry is still important, it does not figure on the top-10 list partly because the government has recognised the difficulty of promoting this industry.
He admits that progress will be slow until reforms in the coconut industry take place.
As for long-term survival and growth, companies will also have to identify new markets, says the oleochemical producer. The BoI would like companies to diversify their exports to cover non-traditional markets such as Russia, China and India.
Currently, Japan, the US, South Korea and the Netherlands are the top four export destinations.
Beside the problems listed above, local companies also have to take into account a whole range of other issues, such as global overcapacity in some sectors, volatile product prices and competition from synthetic substitutes.
These problems go in hand in hand with the opportunities made available by a rising population, growing consumer preference for natural products and new applications for oleochemicals.
As the government source puts it: 'The industry has great potential, but the Philippine government has to make the right decisions and frame the correct policies.
'Until this happens, the prospects for the local industry are not so bright.'
MAJOR OLEOCHEMICAL COMPANIES IN PHIL
Name
Major products
United Coconut Chemicals
Fatty acid, fatty alcohol, glycerine
Pilipinas Kao
Fatty alcohol beads, hydrogenated fatty alcohols,methyl ester, refined glycerine, fractionated alcohol, sodium lauryl sulfate, mono alkyl phosphate,alkanolamide and surfactants, coco-tertiary amines,fractionated methyl ester
D&L Industries
Coconut methyl ester, coco monoethanolamide,coco diethanolamide
Primo Oleochemicals
Fatty alcohol, low MW fatty acid, glycerine
Sakamoto Orient Chemical Corp
Crude glycerine, refined glycerine
Chemphil Albright and Wilson Corp
Sulfated cocochemical products
Senbel Fine Chemicals
Fatty alcohols, methyl esters, glycerine,alkanoamides
Stepan Philippines
Coco fatty alcohol surfactants
Unistar Oleochemical Corp
Oleochemicals
Source: Board of Investment, Philippines
Name
Major products
United Coconut Chemicals
Fatty acid, fatty alcohol, glycerine
Pilipinas Kao
Fatty alcohol beads, hydrogenated fatty alcohols,methyl ester, refined glycerine, fractionated alcohol, sodium lauryl sulfate, mono alkyl phosphate,alkanolamide and surfactants, coco-tertiary amines,fractionated methyl ester
D&L Industries
Coconut methyl ester, coco monoethanolamide,coco diethanolamide
Primo Oleochemicals
Fatty alcohol, low MW fatty acid, glycerine
Sakamoto Orient Chemical Corp
Crude glycerine, refined glycerine
Chemphil Albright and Wilson Corp
Sulfated cocochemical products
Senbel Fine Chemicals
Fatty alcohols, methyl esters, glycerine,alkanoamides
Stepan Philippines
Coco fatty alcohol surfactants
Unistar Oleochemical Corp
Oleochemicals
Source: Board of Investment, Philippines
Labels: Fatty Alcohol, Glycerin, Palm Oil
